Oleh: Einar M. Sitompul
A. Bangkitnya Ulama
Ketika
NU bergabung di dalam PPP sebenarnya boleh dinilai bahwa NU telah
kembali menjadi organisasi keagamaan karena PPP sudah menjadi wadah
kegiatan politiknya. Tetapi ini hanya penilaian saja sebab NU belum
melakukan pemulihan itu secara tuntas.
Rupanya perhatian NU lebih tercurah kepada kegiatan politik melalui PPP.
Upaya untuk menjernihkan status NU setelah bergabung dalam PPP baru
dilakukan oleh NU dalam Muktamar XXVI 1979 di Semarang. Inilah muktamar
pertama dan terakhir bagi NU setelah bergabung dalam PPP dan terlihat
pula betapa lama jarak waktunya dengan muktamar XXV 1971. Sudah tentu NU
sebagai organisasi keagamaan tidak intensif lagi mengikuti perkembangan
politik dan menilainya dari sudut pemikiran keagamaan. Muktamar 1979
sudah menegaskan agar NU kembali kepada Khittah 1926, kembali menjadi
organisasi keagamaan.(1) Hal ini didorong oleh perjalanan sejarah NU
sebagai partai politik yang penuh dengah kekecewaan.(2)
Untuk
mencapai tujuan kembali kepada Khittah 1926, maka muktamar menyusun
program lima tahun. Dalam kata pendahuluan program diuraikan maksud dan
bidang sasarannya,
Pada
hakekatnya, Muktamar NU ke-26 adalah pemantapan NU sebagai jam’iyah
sehingga kegiatan kualitatip yang mengisinya adalah pembenahan kembali
organisasi masyarakat. Melalui kegiatan-kegiatan keagamaan dan
masyarakat. Konsolidasi organisasi tersebut meliputi: a) Pemantapan
penghayatan dan pengamalan asas aqidah Ahlusunnah wa Jama’ah; b)
Penyusunan program dasar yang memberi arah yang tegas kepada kegiatan
pengembangan NU; dan c) Tata organisasi yang menyangkut tata laksana,
tata kerja dan personalia sehingga jelaslah pegangan bagi para
fungsionaris dalam mengambil setiap keputusan dan tindakan.(3)
Sebenarnya
keputusan ini sudah tegas sekali menjernihkan identitas NU sebagai
organisasi keagamaan, tetapi karena semangat politis masih kuat sekali
identitas keagamaan menjadi kabur kembali. Keputusan Muktamar 1979 agar
NU kembali menjadi organisasi keagamaan hanya berhasil memulihkan NU
sebagai organisasi keagamaan secara konsepsional tetapi gagal secara
operasional. Dengan nada agak menyesalkan, Anam mengatakan bahwa
pengurus baru “kurang mencerminkan adanya regenerasi dan pemisahan
secara tegas siapa yang seharusnya mengurus NU dan siapa pula yang di
PPP”.(5) Nakamura, sarjana Jepang yang turut menghadiri Muktamar 1979
itu mengamati bahwa Idham Chalid yang telah banyak mendapat kritik dari
ulama, dengan keahlian retorikanya mampu menghimpun simpati dari para
peserta sehinggaa dikukuhkan kembali menduduki jabatan ketua umum.(6)
NU
benar-benar mengalami krisis identitas; semangat kembali menjadi
organisasi keagamaan dikumandangkan tetapi langkah untuk kembali tidak
dibenahi. Bila ia kembali menjadi organisasi keagamaan, siapakah yang
akan menjalankan tugas itu karena pimpinan NU adalah juga pimpinan di
PPP? Apakah mungkin bagi NU untuk menjadi organisasi keagamaan sambil
mempertahankan status sebagai salah satu unsur dalam PPP di mana ia
sudah banyak mengalami kekecewaan? Adalah logis bila krisis identitas
berlanjut. dengan krisis organisasi. Ketika gagasan memberikan gelar
Bapak Pembangunan kepada Presiden Suharto sedang hangat, organisasi
pemuda NU, Ansor, mencetuskan pernyataan mendukung dengan menilainya
sebagai “yang wajar dan tidak berlebih-lebihan, dan mempunyai arti
penting” serta mengusulkan agar MPR “mempercayakan kepemimpinan
nasional” kepada Jenderal Suharto.(7) Pernyataan ini dinilai oleh Anam
berbeda bahkan bertentangan dengan keputusan Munas Kaliurang 1981 yang
memutuskan bahwa untuk Presiden “tidak diperlukan tambahan
sebutan-sebutan lainnya” dengan alasan “agar tidak mengurangi martabat
Jabatan” Presiden, dan dalam soal pencalonan Jenderal Suharto “hendaknya
diajukan secara konstitusional” kepada MPR hasil pemilu 1982 “tepat
pada waktunya”.(8) NU larut lagi ke dalam perjuangan politik.
Arus balik yang drastis pada awal Mei 1982. Dalam pertemuan para ulama terkemuka diprakarsai oleh Rois Am dibahas
apa yang disebut “kelemahan Idham Chalid”.(9) Kelemahan itu tidak
dirinci karena dinilai “tidak etis bahkan dapat membangkitkan reaksi
yang keras”.(10) Pertemuan itu memutuskan untuk memberhentikan Idham
Chalid, tetapi caranya dibuat sehalus mungkin. Karena saat itu Idham
Chalid sedang dalam perawatan maka hal itu dijadikan dasar untuk menilai
bahwa Idham Chalid “tidak mungkm mengemban amanat muktamar”; atas dasar
pertimbangan itu Idham Chalid “diminta mengundurkan diri serta
menyerahkan Jabatan Ketua Umum PBNU kepada Rois Am”.(11) Semula Idham
Chalid menerima dan menandatangani surat yang berisi pengunduran diri
yang disodorkan oleh para ulama, tetapi kemudian ia mencabutnya
kembali.(12) Kasus pengunduran diri Idham Chalid ini segera
menggemparkan kalangan dalam dan luar NU, dan di dalam NU sendiri timbul
pro dan kontra tindakan para ulama tersebut. Terlepas dari sisi pro dan
kontra, tindakan ulama itu adalah suatu pertanda bangkitnya ulama yang
selama ini sudah tersudut oleh perkembangan yang terjadi di dalam tubuh
PPP dan kiprah kaum politisi di dalam tubuh NU sendiri — menyelamatkan
NU agar NU tetap menjadi wadah ulama. Dilihat dari sudut wewenang yang
ada pada Rois Am maka tindakan para ulama yang diprakarsai oleh Rais Am
itu adalah wajar dan sudah waktunya. Abdurrahman Wahid dalam
komentarnya terhadap kasus itu menilai sebagai “titik yang sangat
menentukan bagi masa depan NU, artinya kyai-kyai kerjanya sudah lebih
cepat dari biasanya”.(13) Dan lebih lanjut ia menyatakan bahwa kasus itu
tidak terlepas dari “unsur-unsur keagamaan”.(14) Ketika Idham Chalid
mencabut kembali pengunduran dirinya, Rois Am menilai pengunduran diri dan penyerahan jabatan kepada Rois Am adalah sah secara hukum agama (syara’),
. . . .penyerahan jabatan ketu umum dari tangan DR. K.H. Idham Chalid kepada Rois Am adalah sah menuru hukum syara’. Oleh karena itu kalau kasus semacam itu tidak ada dalam AD ART maka
tidak pada tempatnya dicari akal-akalan sehingga menimbulkan berbagai
macam tafsiran terhadap AD/ART sendiri. Kejadian itu harus dikembalikan
kepada hukum syara’, yaitu hukum Islam yang harus
diperjuangkan oleh Jami’ah NU. Kalau terjadi kasus seperti penarikan
kembali pernyataan yang sudah dikeluarkan oleh DR. K.H. Idham Chalid,
sedang di dalam AD/ART tidak ada maka mudah saja. Persoalan itu dikembalikan pada hukum syara’,
bahwa pemberian berupa apapun kalau sudah diberikan, maka tidak boleh
diminta kembali. Dalam hal ini termasuk juga jabatan Ketua Umum NU yang
telah diserahkan kepara Rois Am maka tidak boleh diminta lagi. Kalau
AD/ART berlawanan dengan itu maka berarti AD/ART NU tidak sesuai dengan
hukum syara’. . . .(15)
Pertemuan para ulama yang menentukan masa depan NU itu berlangsung di
Surabaya pada tanggal 1 Mei 1982, kota yang mempunyai arti historis
bagi NU karena di kota itulah NU didirikan.(16) Dengan tindakan itu para
ulama menunukkan kembali kapasitasnya sebagai ulama. Disadari bahwa
prosesnya akan rumi bila mengikuti AD/ART padahal NU membutuhklan
tindakan yang segera, karena itulah para ulama melalui Rois Am Ali Maksoem, tampil dengan mengandalkan hukum Islam.
Tindakan
para ulama itu membuat pertentangan intern NU menjadi terbuka dan kaena
sudah terbuka maka ia memerlukan penyelesaian yang segera. Idham Chalid
yang mencabut pengunduran dirinya dengan alasan karena diprotes oleh
pengurus wilayah menghimpun kekuatan dan menginginkan agar segera
diadakan Muktamar.(17) Sedagkan para ulama lebih mempertahankan perlunya
terlebih dahulu diadakan Munas (lengkapnya Musyawarah Nasional Alim
Ulama NU) yang akan “merupakan rekomendasi bagi muktamar NU ke
XXVII.(18) Sementara itu asas Pancasila sebagai isu nasional harus pula
mendapat tanggapan NU. Karena pertenangan sudah terbuka masa dean NU
tidak lagi ditentukan dirinya sendiri tetapi turut juga ditentukan oleh
pemerintah (kepada pihak mana izin mengadakan muktamar/munas diberikan)
dan bagaimana NU menanggappi asas Pancasila sebagai isu nasional.
Pihak ulama berhasil memenangkan perhatian pemerintah yang terbukti dengan mendapat gren light (lampu
hijau) untuk menyelenggarakan Munas. Munas dilangsungkan di pesantren
Salafiah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, di pesantren yang dipimpin oleh
K.H. As’ad Syamsul Arifin, bulan Desember 1983.(19) Sebelum itu pihak
politisi (Idham Chalid dan kawan-kawan) dan kelompok ulama sama-sama
mengadakan pendekatan kepada pemerintah. Bedanya menurut Irsyam, pihak
ulama (yang disebutnya kelompok idealis sedangkan Idham Chalid kelompok
realis) berhasil “menyampaikan terlebih dahulu ketetapan politik yang
telah diputuskan oleh pemimin-pemimpin kelompok idealis langsung kepada
Presiden”.(20) Menurut kalangan ulama (Syuriah) masalah asas Pancasila
sudah dibicarakan lebih dahulu dengan Presiden ketika K.H. As’ad Syamsul
Arifin menemui Presiden sebelum Munas.
Kyai
Haji As’ad Syamsul Arifin sesepuh NU dari Jawa Timur belum lama
berselang telah diterima oleh Presiden Soeharo dalam sebuah pertemuan
khusus. Dalam pertemuan itu KH As’ad Syamsul Arifin telah menegaskan
pendirian sebagian besar ulama dan ummat Islam Indonesia bahwa mereka
menerima Pancasila hukumnya adalah wajib… KH As’ad juga menyatakan
pendapatnya tentang perlunya diadakan suatu musyawarah nasional alim
ulama untuk meratakan pendirian itu. Munas tersebut antara lain akan
memasyarakatkan sikap yang diutarakan KH As’ad dan sekaligus dilihat
kemungkinan perubahan anggaran dasar NU sebagai konsekwensi dari
pernyataan tersebut.. Pernyataan di hadapan Presiden Soeharto itu adalah
sikap dan pendirian KH As’ad dan sama sekali bukan karena permintaan
Presiden.(21)
Apakah
pernyataan semacam ini bukan mendahului atau melangkahi Munas? Mengapa
para ulama (seperti K.H. As’ad) berani mengeluarkan pernyataan demikian?
Apakah NU takut menghadapi tekanan? Bagaimana kalau Munas menolak sikap
yang sudah dilontarkan secara terbuka itu? Pertanyaan demikian kurang
tepat disampaikan kepada NU. Organisasi ini tidak dapat dimengerti
dengan menggunakan mekanisme organisasi modern. Untuk memahami mengapa
para ulama berani menyatakan pendapatnya terlebih dahulu dan mengapa
Munas dengan mudah menerima asas Pancasila, kita harus memahami dari
sudut kehidupan NU sendiri. Pertama, ulama dengan basis pesantren
mempunyai wibawa yang kuat di mata umat. Para ulama yang menjadi
konseptor keputusan Munas Situbondo (Ali Maksoem, Machrus Ali, As’ad
Syamsul Arifin, Ahmad Siddiq, dan lain-lain) adalah ulama-ulama yang
berwibawa dan pemimpin pesantren besar.(22) Kedua, sebagai pemimpin
Islam tradisional, keputusan mereka diyakini bukanlah semata-mata
berdasarkan pertimbangan politis tetapi benar-benar berdasarkan
keagamaan. Ketiga, sebagai pemimpin umat dengan sendirinya mereka peka
terhadap perkembangan dan kebutuhan umat. Sambil membantah pendapat yang
mengatakan bahwa Islam adalah agama yang konservatif dan kaku sehingga
tidak mampu berkembang Montgomery Watt menegaskan bahwa sejarah Islam
membuktikan kemampuannya untuk menyesuaikan diri (adaptasi) dengan
perkembangan, seperti yang dikatakannya,
.
. . jika seseorang melihat dengan seksama kepada sejarah Islam, ia
akan mendapatkan banyak peristiwa berlangsungnya “adaptasi” itu secara
sungguh-sungguh . . . .
. . . perubahan-perubahan dalam Islam yang sifatnya adaptif telah terjadi pada masa lalu, sehingga ia akan membenarkan seseorang yang mengharapkan agar Islam dapat menyesuaikan dirinya dengan persoalan-persoalan masa kini.(23)
. . . perubahan-perubahan dalam Islam yang sifatnya adaptif telah terjadi pada masa lalu, sehingga ia akan membenarkan seseorang yang mengharapkan agar Islam dapat menyesuaikan dirinya dengan persoalan-persoalan masa kini.(23)
Ada
dua faktor yang memungkinkan perubahan adaptif itu, yaitu melalui
“pemunculan seorang pemimpin yang kharisrnatis” dan “aktifitas-aktifitas
para ulama atau yang lebih umum lagi, kaum intelektual”.(24) Ia memuji
peranan dua orang theolog muslim yang telah mampu mengembangkan tradisi
Islam (Sunni) dalam situasi baru, seperti al-Asyari dan al-Ghazali(25)
(dua orang theolog yang sangat berpengaruh di kalangan NU). Dalam hal
ini besar sekali peranan ijma (konsensus) untuk
“mengadaptasikan ajaran dan tradisi Islam dengan situasi baru”.(26).
“Konsensus atau persetujuan bersama masyarakat Islam ini, kemudian
merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan, meskipun konsensus
tersebut hanya bergerak lamban”.(27) Perkembangan NU membenarkan apa
yang dikatakan oleh Watt di atas.
Munas 1983 membahas empat masalah:
- Pemulihan NU kepada Khittah 1926. NU kembali menjadi organisasi keagamaan dengan mengarahkan program NU kepada situasi pembangunan dan mengatur perangkat organisasi yang mendukung cita-cita NU sesuai dengan Khittah 1926;
- Pemantapan Pancasila sebagai asas organisasi. Dibahas penerimaan Pancasila sebagai asas dan penjabarannya dalam anggaran dasar.
- Penegasan batasan-batasan bagi penyaluran aspirasi politik warga NU melalui kekuatan sosial politik yang ada.
- Pembahasan masalah keagamaan (masail diniyah).(28)
Masalah
1, 2 dan 3 berkait langsung dengan perkembangan baru yang harus
ditanggapi NU dan penilaian secara kritis terhadap keberadaan serta
kemelut yang dihadapinya sejak ia menjadi organisasi politik. Munas
memutuskan menerima Pancasila dan memulihkan NU menjadi organisasi
keagamaan sesuai dengan Khittah (Semangat) 1926.(29) Keputusan Munas
itulah yang dikukuhkan oleh Muktamar XXVII yang berlangsung tanggal 8-12
Desember 1984 di Situbondo, di tempat yang sama dengan berlangsungnya
Munas. Muktamar yang bersejarah ini dihadiri oleh Presiden dan para
Menteri.(30)
Masalah yang utama tampaknya adalah Pancasila dalam kaitannya dengan Islam. Dan untuk itu keputusan Munas adalah sebuah,
Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam
- Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
- Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
- Bagi Nabdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
- Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
- Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua fihak.(31)
B. Dasar-dasar Pemikiran Nahdlatul Ulama Menerima Pancasila
Penerimaan
NU atas Pancasila benar-benar dipikirkan oleh NU secara matang dan
mendalam. NU adalah organisasi kemasyarakatan yang pertama menuntaskan
penerima-annya atas Pancasila.(32)
Kendati
demikian hal itu bukanlah alasan untak menuduh bahwa penerirnaan itu
karena ia bersikap akomodatif, dan juga tidak benar bahwa kembalinya NU
menjadi organisasi keagamaan atau meninggalkan politik praktis sebagai
sikap yang emosional.(33) NU bukan hanya pertama menerima tetapi juga
yang paling mudah menerima Pancasila. Muhammadiyah menerima Pancasila
setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.(34)
1. Konsep Fitrah
Penerimaan
NU benar-benar telah dipikirkan dari sudut pertimbangan keagamaan.
Dalarn muktamar itu NU memahami ulang dasar-dasar keagamaannya dan dari
sana merumuskan sikapnya terhadap perkembangan yang sedang dihadapinya.
Dasar-dasar keagamaan paham ahlusunnah wal jama’ah dijabarkan sebagai berikut:
Nahdlatul
Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fithri, yang
bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh
manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat
menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik
serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan
tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.(35)
Fithri
atau fithrah (sifat asal, keadaan murni) adalah konsep yang sangat
penting dalam Islam. Fithrah adalah dorongan yang sudah tertanam di
dalam diri manusia untuk menemakan Tuhan, demikian Ali Issa Othman
mengawali bukunya tentang Manusia Menurut Al-Ghazali.(36) Dorongan hati
(fithrah) itulah yang menyebabkan manusia menyerahkan diri (islam )
kepada Allah;
Inilah
Islam pada hakekatnya: menyerahkan diri (self-commitment) sebagai
responsi terhadap gerak hati yang tertanam di dalam fitrah manusia—
suatu kedamaian batin yang tidak dapat diperoleh tanpa menemukan Allah
dan menyembah Dia.(37)
Dalam
Quran seluruh alam dan manusia pada dasarnya tunduk (islam) kepada
Allah (lihat Sura 22:18; 16:49,50; 13:15; 3:83; dan lain-lain).(38) Bila
dianalisis lebih lanjut, maka pengertian islam menurut Quran mencakup
hal-hal sebagai berikut, sebagaimana dirumuskan oleh Othman,
Pertama : islam dari kosmos;
Kedua: islam dari segala yang bernyawa (dawab) dan tidak bernyawa;
Ketiga: islam dari semua manusia, baik sukarela atau terpaksa;
Ketiga: islam dari semua manusia, baik sukarela atau terpaksa;
Keempat: islam dari mereka yang mengikatkan diri kepada Allah secara sukarela;
Kelima : islam dari mereka yang mengikuti agama dari Allah -Islam-diturunkan melalui Muhammad, dengan didahului oleh nabi-nabi lainnya.(39)
Kelima : islam dari mereka yang mengikuti agama dari Allah -Islam-diturunkan melalui Muhammad, dengan didahului oleh nabi-nabi lainnya.(39)
Dengan kata lain segala sesuatu adalah islam secara
rela atau terpaksa dan hal itu adalah konsekuensinya, segala sesuatu
adalah ciptaanNya sebab tidak ada di dalam alam yang di luar jangkauan
Secara singkat islam tidak terbatas pada manusia saja, islam mencaku seluruh unsur yang ada, islam dari segala “sesuatu” dapat secara sukarela atau terpaksa. Tetapi di dalam kedua-duanya ia tetap merupakan muslim, karena jika tidak demikian ia harus berada di luar hal-hal yang ada dan bebas dari segala hukukmnya.(40)
Menurut
al-Ghazali, dalam upaya manusia mencapai kebahagiaan ia selalu terancam
olein “kecintaan terhadap nafsu” yang dapat menghalanginya mengikuti
fithrah.(41) Berdasarkan hal itu al-Ghazali melihat “ada
tingkatan-tingkatan dalam islam, yang sesuai dengan tingkat pengetahuan
yang dimilikinya”.(42)
Sikap
keagamaan NU seperti yang dirumuskan di atas dapat dipahami melalui
pola pemikiran al-Ghazali ini. NU tidak bersikap antitesis terhadap
suatu nilai masyarakat. Sepanjang suatu nilai atau sistem di dalam
masyarakat tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, maka ia mempunyai
potensi untuk diarahkan atau dikembangkan agar selaras dengan
tujuan-tujuan di dalam Islam. Dalam pengertian itulah ia bersikap
“menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia”. Sikap
ini berbeda dengan sikap kaum pembaharuan, seperti yang sering
dilontarkan oleh Natsir bahwa —dengan mengutip H.A.R. Gibb— “Islam itu
sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia adalah satu
kebudayaan yang lengkap”.(43)
Sikap
seperti yang dilontarkan Natsir ini cenderung membawa Islam ke dalam
sikap antitesis; Islam sebagai suatu totalitas yang lengkap akan
dihadapkan dengan sistem lain yang dengan mudah akan dicap tidak islami
dan pada giliranya akan menimbulkan pertentangan dengan nilai-nilai yang
sudah ada. Ketika membicarakan pemikiran teoritis Islam, Wahid
membantah bahwa Islam mempunyai konsep baku tentang negara.(44)
Pemikiran yang demikian kata Wahid dianut oleh pemikiran idealistik.
Bertentangan dengan itu ia mengajukan pemikiran realistik,
Jenis
pemikiran realistik tidak begitu tergoda oleh bangunan utopis dari
sebuah negara ideal menurut wawasan Islam, melainkan lebih tertarik pada
pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis dapat ditampung dalam
pandangan Islam tentang negara. Tidak adanya bentuk baku sebuah negara
dan proses pemindahan kekuasaan… membuat perubahan historis atas
bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan atau tercegah lagi.
Dengan kata lain, kesepakatan akan bentuk negara… dilandaskan… pada
kebutuhan masyarakat pada suatu waktu. Inilah yang membuat mengapa hanya
sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara…(45)
Berbicara
tentang sesuatu masyarakat dari sudut pandangan Islam, al-Ghazali
berjasa besar menyumbangkan pemikiran yang realistik. Timbulnya
masyarakat hampir merupakan semacam keharusan karena manusia itu dalam
hidupnya berusaha mengisi kebutuhan dan kenikmatan; usaha-usaha mengisi
kebutuhan dan kenikmatan itu yang disebut oleh al-Ghazali sebagai dunya. Selengkapnya, dunya itu berarti,
- hal-hal konkret yang tertentu;
- kenikmatan yang diperoleh manusia dari hal-hal konkret tersebut, dan
- pengolahan-pengolahan yang dilakukan manusia terhadap hal-hal konkret tersebut untuk dinikmatinya.(46)
Dunya adalah salah satu aspek dari aktivitas manusia. Aspek lainnya yang tidak dapat dipisahkan dari dunya adalah aktivitas keagamaan (din)(47).
Masyarakat berkembang dalam kompleksitas kebutuhan, ambisi, fungsi,
tujuan, dan sebagainya. Kendatipun aktivitas manusia dapat diselewengkan
oleh berbagai nafsu dan ambisi, ia tetap diperlukan demi kelestarian
sesuatu masyarakat. “Adanya setiap sesuatu itu mempunyai maksud
tertentu. Jadi dari sudut pandangan ini tak ada sesuatu pun yang
buruk”.(48) Baik buruknya sesuatu di dalam masyarakat “tergantung kepada
pengaruhnya terhadap kehidupan manusia”.(49) Yang penting bagi
al-Ghazali mengenai aktivitas untuk mencapai kebahagiaan tertinggi atau
pemenuhan diri (Sa’ adah)(50). Di sinilah masyarakat memerlukan petunjuk, ajaran dan rahmat Allah.
Dilihat
dari sudut pandangan al-Ghazali itu maka titik berangkat menilai
masyarakat bukanlah sejumlah doktrin yang dikembangkan secara subyektif,
melainkan perkembangan masyarakat dari sudut potensi yang terdapat
dalam diri manusia sebagai ciptaan Allah (fithrah). Titik
berangkat dari fithrah membuat NU bersikap inklusivistis karena mengakui
“nilai-nilai yang baik yang sudah ada” dan akan bersikap positif-kritis
karena bertujuan “menyempurnakan” nilai-nilai itu. Dengan meminjam
istilah Wahid NU akan menjadikan nilai-nilai yang sudah ada sebagai
“persambungan vertikal”(52), untuk mengantarkan masyarakat berjalan
sesuai dengan tujuan Islam.
Dalam Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam seperti
yang saya kutip di atas, dalam bagian pertama ditegaskan bahwa
Pancasila bukan agama dan tidak dapat menggantikan agama. Pernyataan
yang demikian sudah sering diucapkan oleh presiden Suharto setelah P4
menjadi keputusan MPR tahun 1978.(53) Pancasila dipandang sebagai suatu
produk masyarakat yang diperlukan untuk kelestarian itu sendiri. Ia
tidak lagi dicurigai sebagai saingan agama seperti sikap NU ketika asyik
menggumuli politik praktis. Ketika NU mulai mengambil sikap untuk
kembali menjadi organisasi keagamaan maka ia dapat menilai secara lebih
realistik. Pancasila dinilai sebagai falsafah bangsa sedangkan agama
adalah wahyu. “Pada dasarnya, sila-sila dalam Pancasila tidak
bertentangan dengan Islam, kecuali jika diisi dengan tafsiran atau
perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam”.(54) Sering dikatakan
bahwa Islam tidak dapat memisahkan agama dan politik. Itu memang benar
dan NU tidak memisahkan agama dan politik atau agama dengan masyarakat,
tetapi ia membedakan mana bidang yang berguna ditanggapi dan mana yang
tidak berguna; dan mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak
demi tujuan keagamaan. Tepat seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali:
Mencari
kebenaran meminta sang pencarinya untuk membedakan antara hal-hal dan
tujuan yang penting dan perlu yang ada dalam masyarakat dengan hal-hal
dan tujuan-tujuan yang tidak penting dan tidak perlu.(55)
Dalam
deklarasi termaktub penerimaan atas Pancasila diputuskan sebagai dasar
dan jalan bagi NU untuk menjalankan syariat (hukum agama) Islam;
Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya ummat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’atnya.
2. Konsep Ketuhanan
NU menilai rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut
pasal 29 (ayat 1) UUD 1945 —yang menjiwai sila-sila lainnya
mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam(56). Pasal 29 UUD
1945 itu berbunyi: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esas.(57)
Di
sini yang dinilai oleh NU adalah kedudukan agama dalam negara atau
hubungan agama dengan negara. Sebagaimana kita ketahui hubungan antar
agama dan negara adalah bersifat rumit dan krusial.
Secara teoritis terdapat empat kemungkinan hubungan antara negara dan agama:
- Negara memperalat agama demi kepentingan politik; misalnya Kekaisaran Romawi Kuno, pemerintah Tsar Rusia sampai 1917.
- Agama menguasai masyarakat politis. Dengan demikian pemerintah dianggap dilakukan menurut kehendak Ilahi seperti diwahyukan menurut kepercayaan agama tertentu. Pola pemerintah yang disebut teokrasi itu dapat dilaksanakan dengan cara yang berbeda-beda: (1) lewat seorang raja keturunan ‘Ilahi’ atau penjelmaan suatu dewa (kerajaan-kerajaan kuno di Timur Tengah, Dewa-Raj dalam Kerajaan Majapahit dan Kediri, Tenno Heika di Jepang) atau (2) lewat kaum imam, ayatulah, brahma, biksu atau pelaksana-pelaksana kultus lainnya (misalnya kaum Sadusi di Israel pada jaman Jesus, Lamaisme di Tibet, Iran di bawah Khomeini), bentak itu disebut hierokrasi, atau (3) lewat syariat agama tertentu yang ditafsirkan oleh ahli-ahli hukum -suci (Turki sampai 1922, Saudi Arabia) pola itulah yang disebut nomokrasi… Bentuk sekularistis dari ‘teokratis’ adalah ideokratis: suatu ideologi merupakan norma tertinggi dan mutlak bagi segala urusan politik dan sosial (misalnya Marxisme dalam negara komunis).
- Agama dan Negara dipisahkan. Itu dapat dilakukan secara radikal dan dalam semangat anti-agama, sehingga merugikan agama, misalnya di Perancis pada tahun 1905 dan sekarang ini di negara-negara komunis … Akan tetapi ada juga pemisahan atau lebih tepat pembedaan antara negara dan agama, yang menguntungkan kedua belah pihak. Sebab kedua-duanya saling menghargai wewenang dan bidang masing-masing, misalnya di Amerika Serikat.
- Pola pembedaan dan kerjasama di antara negara dan agama (—agama) tanpa mencampuradukkan kedua itu; misalnya seperti dicita-citakan dalam Negara Pancasila yang murni di Indonesia.(58)
Negara
Pancasila sering disifatkan sebagai jalan tengah di antara negara agama
dan negara sekuler. Negara membantu mengembangkan kehidupan beragama
tetapi tidak mencampuri kehidupan intern umat beragama. Presiden Suharto
menjelaskan:
Sebagai
Negara Pancasila kita tidak menganut faham sekuler, sehingga Negara dan
Pemerintah sama sekali bersikap tidak memperdulikan peri kehidupan
beragama kita. Karena itu Pemerintah tidak menempatkan usaha dan
kegiatan pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama sebagai masalah
masyarakat dan umat beragama semata-mata. Di lain pihak, negara kita
juga bukan negara agama dalam arti didasarkan atas salah satu agama.
Dalam hubungan ini, maka negara tidak mengatur dan tidak ingin
mencampuri urusan syariah dan ibadah-ibadah agama yang umumnya terbentuk
dalam aliran agama masing-masing.(59)
Prinsip
Ketuhanan yang merupakan pokok perdebatan sengit di antara kalangan
nasionalis muslim dan nasionalis sekuler sejak sebelum kemerdekaan
diselesaikan secara tuntas oleh NU dengan menyatakan bahwa sila itu
mencerminkan tauhid Islam. Mencerminkan berarti membayangkan atau
menggambarkan sesuatu perasaan, keadaan, batin, dan sebagainya.(60) Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dinilai sudah membayangkan atau
menggambarkan apa yang diinginkan oleh tauhid Islam. K.H. Ahmad Siddiq
yang sejak Muktamar 1984 terpilih sebagai Rois Am, orang yang
boleh dikatakan konseptor utama keputusan Munas 1983 dan Muktamar 1984,
dalam makalahnya yang disampaikan pada Muktamar mengatakan:
a) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan keesaan Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid;
b) Adanya pencantuman anak kalimat “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa” pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa.(61)
b) Adanya pencantuman anak kalimat “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa” pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa.(61)
Pengertian mencerminkan tampaknya
sudah dipilih secara matang. Tidak ada disebutkan bahwa itu sesuai
dengan ajaran tauhid Islam. Bukankah mempersamakan Ketuhanan Yang Maha
Esa dengan tauhid dibantah oleh kalangan nasionalis sekuler dan kalangan
lainnya yang non-Islam?(62) Juga tidak dikatakan bahwa itu tak ada
kaitan dengan tauhid Islam.
Al-Ghazali dalam sebuah tulisannya (Essai Mengenai Jerusalem)
yang melukiskan perjalanannya berkelana sebagai seorang sufi yang
mencari kebenaran, tulisan yang ditujukan kepada kaum awam berkata
tentang asal mula kepercayaan:
Kepercayaan
kepada Allah lahir di dalam diri setiap manusia karena fitrahnya (sifat
yang ditanamkan Allah ke dalam diri manusia sewaktu menciptakannya),
dan tak seorang pun dapat menghindari dorongan fitrahnya untuk mencari
pengetahuan mengenai Allah … lagi pula, di dalam Al-Qur’an kita jumpai
banyak sekali “pertanda-pertanda” yang dapat berperan sebagai dasar
kepercayaan kepada Allah … yang mudah dipahami … untuk membuatnya
percaya kepada Pencipta Yang Tunggal yang memerintah dan mengendalikan
alam semesta.(63)
Selanjutnya,
al-Ghazali mengenal tingkatan pemahaman akan keesaan Allah sehubungan
dengan perkembangan diri agar sampai kepada pengenalan yang penuh
—menurut kacamata sufisme— tetapi sepanjang untuk orang-orang awam
al-Ghazali cukup puas dengan pemahaman yang sederhana.
Sejauh
kepentingan orang-orang awam, Al-Ghazali merasa cukup puas bahwa usaha
mereka untuk mencari Allah cukup dijamin oleh dorongan alamiah dari
fitrah masing-masing dan petunjuk-petunjuk (syawahid) yang banyak serta beraneka ragam yang dapat kita jumpai di dalam Al-Qur’an ..(64)
Ditinjau
dari pandangan al-Ghazali ini ditegaskan bahwa kendatipun Ketuhanan
Yang Maha Esa tidak dikatakan identik dengan Tauhid bukan berarti dapat
dilepaskan dari penilaian Islam Secara universal karya Allah seluas
ciptaan dan dapat dikenal melalui ciptaanNya oleh sebab itu Islam hanya
perlu mengembangkan fithrah manusia itu. Karena itu Islam tidak akan
menerima suatu negara sekuler sebab hal itu melepaskan sesuatu bidang
dari keagamaan. Sebab Islam tidak mengenal pemisahan agama dari politik.
Bagi NU yang penting ia dapat menegakkan nilai-nilai keagamaan (Islam)
di segala bidang atau wilayah kehidupan. Dengan kata lain Islam dapat
menjalankan fungsinya terhadap masyarakat. Fungsi itu, menurut Wahid
ketika ia berbicara tentang kebudayaan adalah fungsi inspiratif, yaitu dapat “memberikan kekuatan pendorong”; dan fungsi normatif,
yaitu dapat “mengatur dan mengarahkan” kehidupan masyarakat”(65).
Peluang untuk itu sudah terbuka secara potential dalam Negara Pancasila,
karena dalam negara ini NU menilai negara Indonesia terjamin wawasan
keagamaannya! Ketuhanan Yang Maha Esa sekarang menjadi suatu fithrah
bangsa Indonesia untuk dikembangkan lebih lanjut sehingga tercapai
tingkat pemahaman Keesaan yang sesuai dengan penilaian Islam dan pada
gilirannya tercapai pula masyarakat keagamaan (Islam) yang sejahtera!
Pada
titik sebagai sumber inspiratif dan sekaligus batasan normatif dari
ajaran inilah sebuah konsep menyeluruh tentang Islam sebagai Ad-Din (Agama,
huruf besar untuk menunjukkan klaim kebenaran tunggal bagi dirinya…) …
Islam sebagai keimanan, hukum agama (Syari’at), dan pola pengembangan
aspek-aspek kehidupan, dalam totalitasnya berfungsi sebagai jalan hidup
yang akan membawakan kesejahteraan bagi umat manusia. Dalam totalitas
jalan hidup itu dirumuskan arah, orientasi, wawasan dan lingkup
kehidupan perorangan dan bermasyarakat manusia, dengan pola hubungan
antara kaum muslimin dan yang bukan muslimin diatur didalamnya … Dalam
keadaan demikian, tidak lagi akan ada hal-hal yang tidak berwawasan
keagamaan, antara wilayah agama dan wilayah-wilayah lain sudah tidak ada
perbedaan lagi.(66)
Konsep Islam sebagai sesuatu yang menyeluruh (ad-Din) adalah konsekuensi logis dari ajaran Keesaan Allah (tauhid).
Ia adalah konsep bukan ideologi baku yang tinggal diterapkan saja
dalam masyarakat, melainkan dengan menghimpun segala sesuatu agar
“berfungsi secara harmonis di bawah kekuasaan Allah Yang Maha Esa”(67) Di mata al-Ghazali segala ciptaan Allah tidak ada yang diciptakan dengan sia-sia, karena apa yang baik dan yang buruk diukur manfaatnya terhadap kehidupan.(68) Adalah menjadi tugas orang yang taat kepada Allah (islam) “menggunakan setiap karunia (fadl) setiap hal yang rnenyejahterakan manusia sedemikian rupa, sehingga menyempurnakan kebijaksanaan Allah di dalam eksistensi karunia tersebut”.(69)
“berfungsi secara harmonis di bawah kekuasaan Allah Yang Maha Esa”(67) Di mata al-Ghazali segala ciptaan Allah tidak ada yang diciptakan dengan sia-sia, karena apa yang baik dan yang buruk diukur manfaatnya terhadap kehidupan.(68) Adalah menjadi tugas orang yang taat kepada Allah (islam) “menggunakan setiap karunia (fadl) setiap hal yang rnenyejahterakan manusia sedemikian rupa, sehingga menyempurnakan kebijaksanaan Allah di dalam eksistensi karunia tersebut”.(69)
Wawasan
keagamaan yang diutamakan oleh NU diperkuat pula oleh Pembukaan UUD
1945 yang memuat anak kalimat “Atas berkat rakhmat Allah”.(70) Menurut
Sidjabat ketika membahas konsep Ketuhanan dalam sila Pancasila dalam
rangka tuntutan kalangan nasional muslirn agar negara berdasarkan Islam,
mengatakan bahwa anak kalimat “Atas berkat rakhmat Allah” digunakan
untuk memperkuat tuntutan itu.(71) Bagi kalangan muslim nama itu khas
nama Islam sebab tidak ada Allah lain kecuali yang dikenal oleh kaum
muslimin melalui Quran (“Qur’anic Allah”).(72) Kendatipun penghayatan
keagamaan di kalangan Islam di Indonesia dapat saja diliputi oleh
pengaruh sinkretisme den mistisme, mempercayai Allah sebagai yang Esa
dan maha kuasa tetap merupakan sesuatu yang mutlak.(73 Memang, Pancasila
itu sendiri bersifat filosofi, tetapi bila kita perhatikan rumusan sila
pertama Pancasila dan anak kalimat “Atas berkat rakhrnat Allah” di
dalam Pembukaan UUD 1945 maka negara Indonesia benar-benar mengutamakan
landasan dan wawasan keagamaan bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Dan wawasan keagamaan itu menurut Mukti Ali sesuai dengan
watak kehidupan bangsa Indonesia.
Dengan
memperhatikan UUD 1945 dengan Pembukaannya kami berpendapat bahwa
pendekatan terhadap UUD 1945 harus pendekatan agama. Ini berarti bahwa
pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pengertian agama, dan bukan
pengertian falsafi. Hal ini disebabkan karena yang dimaksud dengan Tuhan
Yang Maha Esa adalah “Allah”, dan “Allah” adalah istilah agama, bukan
istilah filsafat …
Indonesia
dengan Pancasilanya adalah bukan negara sekuler dan tidak teokrasi. Di
dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Mana Esa… memberikan bimbingan kepada
tindak laku bangsa Indonesia. Ya, bahkan kesanggupan Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaannya adalah atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa. Mungkin hal ini juga memang sesuai dengan watak kehidupan
bangsa Indonesia … yang hidup dan kehidupannya selalu religious ..(74)
Watak
kehidupan bangsa Indonesia yang religius yang dibakukan dalam bentuk
UUD 1945 —yang sebenarnya merupakan pengejawantahan berbagai tradisi
keagamaan— bila disimak lebih dalam tidak jauh berbeda dengan watak NU
sebagai organisasi keagamaan yang tradisional khususnya penerimaan NU
atas tradisi sufistik maka dengan mudah NU menerima Pancasila dengan
mengutamakan landasan keagamaan. Dengan menerima Pancasila berdasarkan
pertimbangan theologis seperti diuraikan di atas, NU telah menegaskan
sikapnya bahwa watak keagamaan (bagaimanapun itu ditafsirkan) sedikit
banyak telah memenuhi aspirasi Islam, yaitu segala tindak-laku di dalam
masyarakat —terutama kebijakan-kebijakan politis— akan menjadikan
nilai-nilai keagamaan sebagai tolok ukur!
3. Pemahaman Sejarah
Pertimbangan
di atas dalam menerima Pancasila diperkuat oleh Muktamar dengan
mengetengahkan peranan umat Islam menentang penjajahan dan
mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Beberapa pokok pikiran K.H. Ahmad Siddiq menegaskan:
- Perjuangan ummat Islam Indonesia untuk menolak penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah telah berlangsung sejak lama.
- Ketika perjuangan merebut kemerdekaan sudah mendekati keberhasilannya, ummat Islam memberikan saham yang sangat besar dalam persiapan lahirnya negara Indonesia merdeka. Melalui para pemimpinnya, ummat Islam ikut menentukan wujud, azas dan hakum negara yang akan lahir itu.
- Setelah Negara Republik Indonesia diproklamasikan, ummat Islam tanpa ragu-ragu membela dan mempertahankan kemerdekaan itu, bukan saja sebagai kewajiban nasional, melainkan juga sekaligus sebagai kewajiban agama.
- Ketika revolusi fisik telah selesai, ummat Islam rnemberikan saham pula dalam pengisian kemerdekaan yang dicapai dengan penuh pengorbanan itu. Keikutsertaan ummat Islam itu terbukti dalam dua jenis kerja besar . . . (a) ummat Islam berhasil turut menjaga keutuhan negara dari gangguan gerakan-gerakan separatis dan pemberontakan-pemberontakan bersenjata; (b) Dalam era Orde Baru, ummat Islam turut mengisi kemerdekaan dalam bentuk partisipasi penuh dalam Pembangunan Nasional yang sedang berlangsung dewasa ini.(75)
Fakta
sejarah dibentangkan di mana peranan umat Islam besar sekali, bukan
untuk mengklaim status politis bagi umat Islarn, tetapi untuk menegaskan
umat Islam merupakan bagian yang integral dari perjuangan bangsa. Nilai
sejarah terletak dalan; pemahaman fakta-fakta yang ada. Dalam rangka
nasionalisme ia dapat menjadi pedang bermata dua, ia dapat membangkitkan
solidaritas dan dapat pula menimbulkan perpecahan, seperti yang terjadi
di dunia Arab modern yang mayoritas Islam.(76)
Nilai
sejarah terletak pada bagimana kita menafsirkan atau memahaminya dan
tak jarang penafsiran atau pemahaman itu disesuaikan dengan kebutuhan
zaman.(77) Dengan diperkuat oleh dalil-dalil hukum Islam (fiqh) K.H. Ahmad Siddiq mengambil kesimpulan keagamaan:
a) mendirikan dan membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan duniawi wajib hukumnya.
a) mendirikan dan membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan duniawi wajib hukumnya.
b)
kesepakatan bangsa Indonesia untuk mendirikan negara Republik Indonesia
adalah sah dan mengikat semua pihak, termasuk ummat Islam;
c)
hasil kesepakatan yang sah itu, yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia, adalah sah dilihat dari pandangan Islam, sehingga harus
dipertahankan dan dilestarikan eksistensinya;
d) sahnya kesepakatan, hasil kesepakatan dan keterikatan semua pihak itu berkelanjutan pada hal-hal berikut: — kewajiban menurut wujud, azas dan hukum dasar negara sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan; — kewajiban menjaga dan mengamalkan azas dalam hukum dasar sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan, berarti kewajiban menjaga agar azas dan hukum dasar itu tidak disimpangkan dan diselewengkan;
— kewajiban untuk taat kepada penguasa negara yang sah, dalam hal yang tidak mengajak kepada kekufuran! ingkar terhadap Allah! dan kemaksiatan yang nyata;
— kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar (melakukan apa yang diketahui baik dan menjauhi apa yang dibenci Allah) dan saling menasehati, tidak terkecuali kepada Pemerintah, menurut cara-cara yang sebaik-baiknya; — kewajiban untuk ikut serta secara aktif dan konstruktif dalam upaya mewujudkan tujuan didirikannya negara.(78)
d) sahnya kesepakatan, hasil kesepakatan dan keterikatan semua pihak itu berkelanjutan pada hal-hal berikut: — kewajiban menurut wujud, azas dan hukum dasar negara sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan; — kewajiban menjaga dan mengamalkan azas dalam hukum dasar sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan, berarti kewajiban menjaga agar azas dan hukum dasar itu tidak disimpangkan dan diselewengkan;
— kewajiban untuk taat kepada penguasa negara yang sah, dalam hal yang tidak mengajak kepada kekufuran! ingkar terhadap Allah! dan kemaksiatan yang nyata;
— kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar (melakukan apa yang diketahui baik dan menjauhi apa yang dibenci Allah) dan saling menasehati, tidak terkecuali kepada Pemerintah, menurut cara-cara yang sebaik-baiknya; — kewajiban untuk ikut serta secara aktif dan konstruktif dalam upaya mewujudkan tujuan didirikannya negara.(78)
Dari
pendapatat-pendapat yang dijadikan dalil untuk kesimpulan keagamaannya,
dapat kita baca nama-nama yang terkenal dalam sejarah Islam seperti Abu
Huraira(79), Ahmad ibn Hanbal(80), Ibn Khaldun(81), dan sebagainya.
Terbukti bahwa kelompok tradisional seperti NU dalam menanggapi
perkembangan sosial politik sanggup melakukannya tanpa kehilangan
hakikatnya sebagai kelompok tradisional, kendatipun ia sering dituduh
kaku dan lamban, karena justru kesetiaan kepada tradisi membuat ia
sanggup merumuskan sikap-sikap keagamaan yang relevan dengan menafsirkan
sumber-sumber klasik! Tepatlah apa yang dikatakan oleh Wahid dengan
mengutip Hurgronje bahwa,
Islam
di Indonesia yang kelihatan statis dan tenggelam dalam kitab-kitab
salaf abad pertengahan itu sebenarnya mengalami perubahan perubahan yang
fundamentil; perubahan-perubahan itu demikian perlahan, rumit dan
mendalam, sehingga hanya orang yang dapat mengamatinya secara hati-hati
dan teliti dapat mengetahui perubahan tersebut.(82)
Selanjutnya dia mengatakan —saya rasa tentang potensi ulama sebagai penafsir ajaran agama,
Karena
pemahaman atas isi ajaran agama dipegang oleh pemuka-pemuka agama
(religious elite) yang biasanya juga menjadi kelompok pimpinan (elite
class) dalam hampir semua struktur masyarakat, maka sesuai dengan
dinamika yang dimiliki oleh kelompok pimpinan itu sendiri, mau tidak mau
isi ajaran-ajaran agama itu akan selalu mengalami proses pembaharuan
pemahamannya.(83)
Pengakuan
atas negara berdasarkan dua dalil. Pertama berasal dari sebuah hadis
yang berbunyi: “Tak diperkenankan bagi tiga orang yang berada di sebuah
lokasi di bumi ini kecuali menetapkan salah satu di antara mereka
sebagai pemimpin”.(84) Dalil ini mirip dengan asal mula negara menurut
teori alamiah (naturalis); menurut Aristoteles yang pertama kali
mengemukakannya bahwa negara adalah ciptaan alam karena itulah sudah
kodrat manusia untuk hidup bernegara.(85) “Negara adalah organisasi yang
rasional dan ethis
yang memungkinkan manusia mencapai tujuannya dalam hidupnya, untuk mencapai yang baik dan adil”.(86) Tampaknya teori Aristoteles ini juga mempengaruhi al-Ghazali ketika ia berbicara tentang masyarakat,
yang memungkinkan manusia mencapai tujuannya dalam hidupnya, untuk mencapai yang baik dan adil”.(86) Tampaknya teori Aristoteles ini juga mempengaruhi al-Ghazali ketika ia berbicara tentang masyarakat,
…
Allah telah pula menciptakan ke dalam diri manusia hasrat yang tak
dapat dihindarinya untuk berhubungan dengan manusia-manusia lain. Dengan
perkataan lain, dalam menentukan sifat manusia seperti telah
dilakukan-Nya itu, Allah telah membuat masyarakat sebagai sebuah
keharusan.(87)
Yang
penting di sini bukanlah kodrat manusia melainkan adalah penegasan
bahwa adanya negara sesuai dengan kehendak Allah atas manusia
ciptaanNya. Karena seperti yang ditegaskan oleh Rahman Zainuddin dengan
mengutip Ibn Khaldun bahwa timbulnya kepemimpinan dalam masyarakat
menurut Islam berkait erat dengan kelanjutan kehidupan manusia.(88)
“Dalam pandangan Islam, perincian-perincian tentang bagaimana penunjukan
penguasa dan bentuk-bentuk pelaksanaan kekuasaan seluruhnya terserah
kepada manusia itu sendiri”.(89) Yang kedua, adanya negara dilihat oleh
NU
dalam rangka “upaya mendatangkan kemaslahatan (kesejahteraan ) dan menjauhkan kerugian/kerusakan, dan ini wajib menurut kesepakatan umat”.(90) Dengan kata lain negara diperlukan untuk peningkatan kehidupan manusia yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Sepanjang nilai-nilai keagamaan mendapat perhatian negara maka upaya peningkatan kehidupan itu “sah dan mengikat semua pihak, termasuk umat Islam”. Konsepsi Islam yang universalistik dikembangkan sehingga NU mempunyai landasan yang sah untuk mengintegrasikan diri dengan perkembangan dan sekaligus menyingkirkan sikap yang ingin mendominasi perkembangan! Secara asasi dan asali berdirinya negara sudah mencerminkan manifestasi aspirasi Islam; kendati negara itu sendiri tidak berdasarkan Islam tetapi ia mempunyai “kewajiban untuk ikut serta secara aktif dan konstruktif dalam upaya mewujudkan tujuan didirikannya negara.” Watak NU yang tradisional dalam arti mempunyai sumber dalam tradisi, membuat NU mampu memilih apa yang terbaik tetapi sah untuk kelangsungan dan perkembangan Islam dalam situasi yang baru!
dalam rangka “upaya mendatangkan kemaslahatan (kesejahteraan ) dan menjauhkan kerugian/kerusakan, dan ini wajib menurut kesepakatan umat”.(90) Dengan kata lain negara diperlukan untuk peningkatan kehidupan manusia yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Sepanjang nilai-nilai keagamaan mendapat perhatian negara maka upaya peningkatan kehidupan itu “sah dan mengikat semua pihak, termasuk umat Islam”. Konsepsi Islam yang universalistik dikembangkan sehingga NU mempunyai landasan yang sah untuk mengintegrasikan diri dengan perkembangan dan sekaligus menyingkirkan sikap yang ingin mendominasi perkembangan! Secara asasi dan asali berdirinya negara sudah mencerminkan manifestasi aspirasi Islam; kendati negara itu sendiri tidak berdasarkan Islam tetapi ia mempunyai “kewajiban untuk ikut serta secara aktif dan konstruktif dalam upaya mewujudkan tujuan didirikannya negara.” Watak NU yang tradisional dalam arti mempunyai sumber dalam tradisi, membuat NU mampu memilih apa yang terbaik tetapi sah untuk kelangsungan dan perkembangan Islam dalam situasi yang baru!
Pemahaman
sejarah, peran serta umat Islam dalam kehidupan bangsa, dan wawasan
keagamaan yang dianut oleh negara, yang dinilai sah menurut Islam, maka
K.H. Ahmad Siddiq menyimpulkan sikap NU,
Dengan
demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion
teristimewa kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara.(91)
Negara
Indonesia yang berdirinya diakui sah menurut Islam sekarang menjadi
ruang lingkup umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya!
Penerimaan
NU atas Pancasila ditegaskan di dalam Anggaran Dasar. NU menerima
dengan “panjang-lebar”; ia menerima dengan sikap positif—menerima dalam
rangka perjuangan bangsa dan negara mencapai masyarakat adil dan makmur.
Penerirnaan atas Pancasila sudah dimuat di dalam Muqaddimah (Pembukaan)
Anggaran Dasar,
Bahwa
kemaslahatan dan kesejahteraan warga NAHDLATUL ULAMA adalah bagian
mutlak dari kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka
dalam perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur yang menjadi
cita-cita seluruh masyarakat Indonesia, dengan rahmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala, organisasi NAHDLATUL ULAMA berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa
Ketuhanan Yang Maha Esa bagi ummat Islam merupakan kepercayaan terhadap
Allah SWT sebagai inti aqidah Islam yang meyakini tidak ada Tuhan
selain Allah SWT.(92)
Pada pasal 2 Anggaran Dasar dicantumkan asas Pancasila dan Islam tidak lagi disebut asas tetapi sebagai aqidah. Dalam pasal 3 disebutkan:
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.(93)
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.(93)
Ketika
NU menjadi partai politik Islam disebutkan sebagai asas partai dan
aqidah belum disebutkan entah sebagai apa.(94) Demikian Juga Muktamar
XXVI 1979 di Semarang juga tidak ada menyebutkan aqidah dan Islam masih
disebutkan sebagai asas.(95) Mengapa sekarang menyebutkan Pancasila
sebagai asas dan Islam sebagai aqidah?
Tentang perubahan itu, Sa’dullah Assaidi menjelaskan:
..
masalah yang dihadapi bangsa, termasuk ulama NU, sesuai dengan
konstelasi politik adalah Pancasila sebagai satu-satunya asas. Hal ini
bagi Nahdlatul Ulama merupakan waqi’ah (peristiwa aktual), yang tidak
di-hadapi secara kaku namun dihadapi dengan teori keagamaan.(96)
Dengan
meneliti beberapa ayat-ayat Qur’an terdapat tiga lafal yang berasal
dari “asas” (Sura 9:108 dan 109) yang berkaitan dengan asas pendirian
mesjid sehingga disimpulkan bahwa mencantumkan asas bukanlah mutlak;
yang mutlak adalah taqwa (ketaatan kepada Tuhan). Taqwa itulah yang
ingin ditegaskan oleh NU dengan mencantumkan aqidah dan aqidah itu dijalankan menurut paham ahlusunnah wal jamaah.
Dalam
Islam, aqidah ialah iman atau kepercayaan. Sumbernya yang pasti ialah
Qur’an. Iman . . . yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari segala
sesuatu . . .
Aqidah
adalah masalah fundamentil dalam Islam, ia menjadi titik tolak
permulaan untuk menjadi Muslim. Sebaliknya, tegaknya aktivitas keislaman
dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang menerangkan bahwa orang
itu memiliki aqidah…(98)
Saya
rasa yang penting bukanlah mempertanyakan mana yang lebih tinggi asas
atau aqidah, karena di dalam Anggaran Dasar 1926 tidak ada disebutkan
asas maupun aqidah. Yang dicantumkan adalah ciri khas NU sebagai
penganut mazhab dalam memberlakukan Islam. Yang penting bagi NU adalah
pembedaan (bukan pemisahan!); asas berarti pengakuan atau dukungan
terhadap negara di mana ia hidup dan bergerak dan negara itu diakui sah
secara Islam, sedangkan aqidah menyatakan dengan tegas ciri-ciri
keislaman yang dianutnya yaitu ahlusunnah wal jamaah. Perubahan
Anggaran Dasar —merupakan penjabaran langsung dan tegas dari
perkembangan pemikiran keagamaan di dalam NU; kalau negara adalah “upaya
final” seluruh bangsa khususnya umat Islam dan kalau wawasan keagamaan
negara sudah diakui sah, maka pencantuman Pancasila sebagai asas
merupakan suatu konsekuensi logis. Karena persoalan Pancasila sudah
tuntas maka yang tinggal sekarang bagi NU adalah bagaimana memberlakukan
Islam menurut aqidah (keyakinan) ahlusunnah wal jamaah di bumi negara Pancasila.
C. Nahdlatul Ulama Kembali Menjadi Organisasi Keagamaan
Penerimaan atas Pancasila berkait erat dengan semangat NU untuk kembali menjadi organ sasi keagamaan (Jamiah diniyah).
Sebab bila ia sudah mengakui negara dan Pancasila sah menurut Islam
maka peranan sebagai partai politik menjadi tidak relevan lagi. Apalagi
NU sudah menyadari selama menjadi partai politik ia telah banyak
menghabiskan tenaga untuk prestasi politis sedangkan usaha-usaha
keagamaan terbengkalai. Kalau segala aspirasi politis sekarang harus
berlandaskan Pancasila maka jalan yang terbaik bagi kehidupan dan
pengembangan agama adalah dengan benar-benar menjadi organisasi
keagamaan! Itulah yang ditegaskan dengan semboyan Kembali Kepada Khittah
(Semangat) 1926 saat NU berdiri sebagai organisasi keagamaan.
1. Makna Khittah 1926
Dalam
keputusan Munas 1983 tentang “Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926″,
ada empat hal sebagai konsiderans. Pertama, sebagai organisasi keagamaan
NU telah mengalami hambatan karena kurangnya ikhtiar kreatif yang
sesuai dengan kebutuhan masa; Kedua, karena keterlibatan NU di dalam
kegiatan politik praktis secara berlebihan, NU menjadi kurang peka
menanggapi perkembangan sehingga NU tidak lagi berjalan sesuai dengan
hakikatnya sebagai organisasi keagamaan; Ketiga, sudah menjadi tekad NU
untuk senantiasa terikat dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara; Keempat, ulama sebagai unsur utama NU menyadari keprihatinan
terhadap perkembangan NU dan merasa perlu menegaskan pedoman dan
petunjuk bagi perkembangan organisasi.(99)
Selama
menjadi partai politik NU telah mengalami kekaburan identitas; NU
sebenarnya adalah organisasi keagamaan tetapi dengan menjadi partai
politik maka ia lebih terpaku pada prestasi dan prestise politis
ketimbang menanggapi perkembangan di sekitarnya secara keagamaan.
Kembali menjadi organisasi keagamaan adalah jalan terbaik bagi NU untuk
membenahi kelemahannya selama menjadi partai politik dan untuk
menegaskan kembali peranan ulama.
Khittah
1926 adalah ciri-ciri khas NU sebagai organisasi keagamaan yang
dipimpin oleh ulama; melalui peranan ulama, NU berusaha menghimpun umat
Islam untuk “melakukan kegiatan-kegiatannya yang bertujuan untuk
menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian
harkat dan martabat manusia”.(l00) Ciri-ciri khas atau wataknya sebagai
organisasi keagamaan itu telah kabur di saat ia menjadi partai politik.
Maka Khittah 1926 itu dirumuskan oleh Munas 1983 di Situbondo,
- Khittah NU 1926 adalah landasan berfikir, bersikap dan bertingkah-laku warga Nahdlatul Ulama dalam semua tindak dan kegiatan (organisasi) serta dalam setiap pengambilan keputusan.
- Landasan tersebut dapat diambil dengan mengambil intisari dari cita-cita dasar didirikannya NU yakni sebagai wadah pengkhikmatan yang semata-mata dilandasi niat beribadah kepada Allah …
Khittah
NU dengan demikian dalam artinya yang nyata merupakan pencerminan dari
apa yang dapat dilihat pada niat dan dorongan berdirinya, rumusan
ikhtiar yang pernah dilakukan di saat berdirinya serta pada intisari
sejarah perjalanan hidupnya dalam pengabdian. Pemulihan Khittah NU 1926
dengan demikian tidak lain kembali kepada semangat yang dilandasi oleh
kekuatan yang mendorong didirikannya jami’ah ini pada tahun 1926 dan
tujuan yang hendak dicapainya dengan menyadari sepenuhnya terhadap
setiap perubahan yang terjadi pada lingkungan masyarakat di mana NU
melakukan khidmatnya.(101)
NU lahir sebagai organisasi keagamaan untuk menegakkan kehidupan keagamaan yang berlandaskan paham ahlusunnah wal jamaah,
dan hal itu merupakan juga bukti kepekaannya terhadap perkembangan;
ketika kaum pembaharuan melancarkan serangannya terhadap kehidupan
keagamaan yang tradisional, NU berdiri sebagai pembela dan membenahi
kehidupan keagamaan berdasarkan paham ahlusunnah wal jamaah. Dengan menyatakan diri sebagai pengemban tradisi (ahlusunnah wal jamaah),
NU juga pembela kehidupan keagamaan sebagaimana yang telah dihayati
oleh umat Islam di Indonesia, yaitu Islam yang telah menyerap berbagai
tradisi keagamaan yang telah ada sebelumnya (ingat penerimaan Sufisme).
Pengertian khittah dipertegas lagi oleh muktamar bahwa landasan khittah
adalah,
faham
ahlusunnah wal jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di
Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan.
Khittah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan sejarah
khidmahnya dari masa ke masa.(l02)
Konsekuensi
dari Khittah 1926 NU melepaskan ikatannya dengan organissi politik.
Dengan perkataan lain NU melepaskan hubungannya dengan PPP. “Nahdlatul
Ulama sebagai jam’iyah secara organisatoris tidak terikat lagi dengan
organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan mana pun juga.”(l03)
Untuk memperkuat hal itu Munas 1983 mengeluarkan “Rekomendasi Larangan
Perangkapan Jabatan Pengurus Nahdlatul Ulama dengan Jabatan Pengurus
Organisasi Politik.”(l04) Salah satu dasar pertimbangan adalah
perangkapan jabatan di samping berakibat “terbaginya perhatian dan
kesungguhan” tetapi juga “dapat menghambat usaha penampilan citra dan
pelaksanaan kembalinya Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah diniyah
Islamiyah.”(105) Sudah tentu larangan ini yang dengan tegas dilaksanakan
oleh NU, karena melihat duduknya tokoh NU di dalam PPP telah berakibat
dilalaikannya perkembangan NU, bahkan kemelut di dalam PPP secara
langsung atau tidak telah menimbulkan pertikaian di antara pimpinan NU
sendiri. Pelarangan itu merupakan penjabaran praktis dari Khittah 1926!
Tampaknya NU ingin mencegah peranan ulama dijadikan legitimasi
semboyan-semboyan politis sesuatu organisasi politik yang akan
mengakibatkan kebingungan umat.
Untuk
menjamin aktivitas NU sesuai dengan Khittah 1926 maka Muktamar
mempertegas peranan ulama secara organisatoris, karena sebagaimana telah
diuraikan di atas (Bab IV) dilihat dari sisi fungsionalnya kemelut
dalam tubuh NU berkisar makin kaburnya peranan ulama yang merupakan
pusat organisasi. Munas 1983 menggariskan wewenang Syuriah sebagai
berikut:
- Syuriah sebagai lembaga formal NU yang mencerminkan kepemimpinan ulama, ulama harus dipertegas wewenangnya sebagai pengendali, pemimpin, dan pengelola NU.
- Bahwa pengurus NU di semua tingkat adalah pengurus syuriah.
- Pengurus syuriah dipilih oleh musyawarah syuriah.
- Pengurus pelaksana (Tanfidziyah) dipilih oleh musyawarah tanfidziyah dengan terlebih dahulu dimintakan persetujuan pengurus syuriah terhadap calon yang diajukan.
- Setiap waktu pengurus tanfidziyah dapat diberhentikan oleh syuriah bila dinilai telah melanggar ketentuan organisasi maupun agama.
- Pengurus tanfidziyah yang dikenai tindakan tersebut dapat diberi kesempatan membela diri pada permusyawaratan berikutnya.
- Syuriah berhak membekukan kepengurusan bila dinilai melanggar ketentuan hukam agama (syar’i) maupun organisasi.(106)
Muktamar
menampung aspirasi ini dengan merumuskan di dalam Anggaran Rumah Tangga
(ART) di mana salah satu dari ketentuan berbunyi:
Pengurus
Tanfidziyah sebagai pelaksana tugas sehari-hari mempunyai kewajiban
memimpin jalannya organisasi sesuai dengan kebijaksanaan yang telah
ditetapkan oleh pengurus Syuriah.(107)
Menarik
pula untuk dicatat bahwa NU menghapus istilah ketua umum dan
menggantinya dengan sebutan “ketua” saja. NU tidak ingin terjadi
penafsiran terhadap AD/ART yang mengaburkan peranan ulama. Dengan
membenahi organisasi bertumpu pada peranan Syuriah NU ingin mewujudkan
Khittah 1926 secara konsepsional dan operasional.
2. Sikap Kemasyarakatan Nahdlatul Ulama
Berangkat
dari Khittah I926, NU merumuskan sikap kemasyarakatan yang dihayatinya
sejak terbentuk dan yang hendak dikembangkan sesuai dengan situasi baru
kini yang dihadapinya.
- Sikap tawasuth dan i’tidal (sikap tengah dan lurus)
Sikap
tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi
keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama.
Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok
panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun
serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem).(108)
Istilah
tawasuth terdapat di dalam Sura Al-Baqarah (Sura 2) ayat 143.(109)
Dalam ayat ini umat Islam disebut sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan);
Dan
demikian pula kami telah menjadikan kamu umat yang pertengahan (adil
dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)mu. Dan kami tidak
menjadikan kiblat yang engkau menghadap kepadanya (bait maqdis),
melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
berbalik..(110)
Menurut Yusuf Ali—yang menerjemahkan ummatan wasathan sebagai
“ummat justly balanced”—menyatakan bahwa hal itu sesuai dengan hakikat
Islam yang selalu menghindari segala yang berlebihan!(11 l)
Sikap pertengahan dipadu dengan sikap lurus atau adil (i’tidal).(112)
Sikap lurus atau adil dapat kita baca di dalam Sura 5:8 : “.. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(113) Dengan sikap tengah dan adil, NU mengakui bahwa umat
Islam secara keseluruhan adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang
majemuk secara keagamaan, karena itulah ia ingin menjalankan peranannya
sebagai panutan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
Dengan sikap tengah dan adil NU berusaha memelihara atau menjaga diri
(taqwa), yaitu menjalankan perintah Allah ditengah-tengah kehidupan
bersama. Karena negara dan bangsa sudah diakui sah keberadaannya, maka
tugas NU sekarang adalah mengarahkan kehidupan masyarakat agar selalu
berada dalam wawasan keagamaan.
- Sikap Tasamuh (Toleran)
Sikap
toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan,
terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah;
serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.(114)
Sikap
yang demikian telah dibuktikan oleh NU; sebelum NU berdiri para ulama
telah bergabung dengan kelompok pembaharuan dalam Kongres Umat Islam
Indonesia.(115) Dan berulangkali NU dapat bergabung dengan kalangan
Islam lain sepanjang semua kekuatan memusatkan perhatian kepada tujuan
yang sama.
Dengan sikap tasamuh (toleran)
NU dapat menerima dan bekerjasama dengan kalangan Islam lain kendatipun
terdapat perbedaan dalam masalah keagamaan. Dengan kata lain sikap tasamuh
adalah sikap “lapang dada, yaitu tidak terburu-buru menerima atau
menolak saran atau pendapat orang lain.”(116) Lawan dari sikap tasamuh adalah sikap ta’asub yang
berarti sikap “mempertahankan pendirian atau keyakinan dengan
keras/teguh, tidak dengan dipikirkan secara matang, bahkan tidak
bersedia menerima pendapat orang lain.”(117) Sikap yang demikian “dicela
dalam Islam karena hanya akan mendatangkan kerugian atas dirinya, orang
lain dan tidak menghargai cara-cara musyawarah yang dianjurkan
Islam.(118)
Sejak semula para ulama tidak tertarik membahas masalah yang dipertikaikan oleh umat Islam (khilafiyah)
seperti yang dilancarkan oleh kaum pembaharuan. Yang penting bagi para
ulama (NU) adalah penghayatan agama ketimbang membahas kebenaran agama
itu sendiri. Bagi mereka sepanjang suatu kebiasaan berguna untuk
menopang penghayatan, ia dapat diterima dan dikembangkan menjadi
tradisi.
Secara
tidak langsung sikap ini membenarkan pengamatan von Grunebaum tentang
watak Islam, bahwa sejak awal Islam berkembang di dalam kemampuannya
berintegrasi dengan kebudayaan yang ditemuinya;
Kemantapan
Islam …, yaitu mengadakan keseimbangan antara tuntutan tradisi
universal dan lokal telah menetralkan akibat-akibat merusak yang
timbul…(119)
Dalam sikap tasamuh
ini diutamakan kelestarian masyarakat Islam dan masyarakat secara umum.
Diakui adanya perbedaan sikap dan penghayatan dalam agama maupun dalam
hidup kemasyarakatan yang tak mungkin dihapuskan begitu saja, karena
itulah perlu sikap toleran. Dengan demikian NU mempunyai potensi yang
lebih besar mengembangkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat yang
majemuk seperti di Indonesia.
- Sikap Tawazun (Seimbang)
Sikap
seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan
hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa
mendatang.(l20)
Sikap
ini menekankan keseimbangan pengabdian manusia terhadap Allah dan
sesama manusia. Menurut Anam rujukan sikap tawazun ini adalah Sura 57:25
(Al-Hadiid)(121): “… dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan ..”
(bandingkan Sura 42:17) “Apakah keseimbangan (neraca) dalam ayat ini
menyatakan pemberian Tuhan kepada manusia agar mampu menimbang mana yang
baik dan mana yang jahat.”(122) Jika demikian sikap tawazun adalah
sikap yang senantiasa berusaha mencari cara atau jalan yang tepat
mewujudkan pengabdian terhadap Allah di dalam masyarakat yang sesuai
dengan tuntutan zaman; yaitu bagaimana “menyelaraskan kepentingan masa
lalu, masa kini dan masa mendatang”. Dengan kata lain tradisi yang
dihayati NU adalah senantiasa menjadi modal utama menentukan sikap yang
tepat dalam masa kini dan mendatang!
d. Amar ma’ruf nahi munkar Selalu
memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan
berrnanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan mencegah semua hal
yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.(123)
Ungkapan
amar ma’ruf nahi munkar sangat terkenal di kalangan umat Islam yang
merupakan ungkapan singkat dari ayat Qur’an yang sering dikutip:
“al-amru bi’l-ma’ruf wa’l nahyu ‘ani’l-munkar” yang biasanya diartikan
“memerintahkan kepada yang baik, dan melarang apa yang buruk” (lihat
Sura 3:104, 110,114; Sura 7:157; Sura 71:112 dan Sura 22:41).(124)
Apa
yang baik bagi “kehidupan bersama” atau yang bertujuan meningkatkan
“nilai-nilai kehidupan”, bagi NU adalah tugas keagamaan yang dijalankan
dalam sikap tengah dan adil, sikap toleran, dan sikap seimbang.
D. Program dan Pengembangan
Dengan
diterimanya Pancasila dan NU kembali menjadi organisasi keagamaan, maka
mulailah era baru dalam kiprah umat Islam umumnya dan NU khususnya.
Segala potensi NU kini diarahkan kepada pengembangan organisasi dalam
wawasan keagamaan di dalam suasana modernisasi sesuai dengan derap
pembangunan yang terus-menerus digalakkan oleh pemerintah. NU menyadari
selama ia menjadi organisasi politik pengembangan kehidupan keagamaan
dalam arti yang seluas-luasnya telah diabaikan. Untuk itu Muktamar 1984
menyusun program yang dipusatkan pada upaya memacu perkembangan
masyarakat yang meliputi bidang-bidang:
- Syuriah
- Pendidikan (Ma’arif)
- Da’wah dan Penerbitan
- Sosial (Mabarrat)
- Perekonomian
- Pertanian dan Nelayan
- Tenaga Kerja
- Kebudayaan
- Kewanitaan
- Kepemudaan
- Kaderisasi
- Organisasi dan
- Pembentukan Kepribadian.(125)
Segera
terpampang dalam program NU ini tekanan pada peranan syuriah karena
dalam lembaga inilah para ulama dapat sepenuhnya mengendalikan gerak
langkah NU untuk “mencegah dan menolak segala penyimpangan yang pernah,
sedang dan mungkin terjadi…”(126) Dalam program itu pula ditegaskan
watak kultural yang hendak dimantapkan melalui bidang pendidikan yaitu
dengan “pengenalan warisan kultur keagamaan di kalangan Ahlusunnah wal
jamaah . . . dengan menanamkan rasa cinta akan jasa Wali Songo.”(127) NU
ingin menegaskan watak dan penghayatan keagamaan yang erat dengan
keberadaan dan keterikatannya dengan Indonesia. Bahwa Islam yang
dihayati dan dikembangkan oleh NU berciri khas Indonesia! Nurcholish
Madjid menegaskan bahwa Islam di Indonesia harus dipahami dalam ciri
khasnya sebagai pengaruh budaya Indonesia;
“Banyakuya
kompromi antara ajaran-ajaran Islam dan unsur-unsur budaya lokal itu
membuat Islam di Indonesia, lebih daripada Islam di tempat-tempat lain,
sering dianggap sebagai “pinggiran” . . . maka Islam di Indonesia sering
dipandang “tidak” atau sekurang-kurangnya “belum” bersifat Islam secara
sebenarnya, . . . Kebanyakan kajian tentang Indonesia oleh para ahli
Barat . . . cenderung menganggap tidak begitu penting unsur keislaman
dalam budaya Indonesia. Hal ini tentu saja menyesatkan…” (128)
Ia
bermaksud mengajak kita melihat perkembangan Islam di Indonesia
terutama akibat pengaruh sufisme telah menyebabkan terjadinya saling
mempengaruhi antara kebudayaan dan Islam; dan ini penting diperhatikan
bagi pengembangan Islam di masa depan di Indonesia.(129)
Program
pengembangan NU dijalankan berlandaskan empat asas, yaitu asas
kepeloporan, asas kesinambungan, asas penyesuaian dengan tuntutan zaman,
dan asas kemandirian.(l30)
1. Asas Kepeloporan
Dengan
ini ditekankan bahwa program pengembangan selalu dijalankan dengan
mengingat keteladanan yang telah dinyatakan oleh NU sejak terbentuk agar
NU di masa depan “kembali menjadi pergerakan yang mampu jadi panutan.”
2. Asas Kesinambungan
Dengan
asas ini NU hendak menyatakan kesinambungannya dengan sejarah
berdirinya NU sebagai organisasi keagamaan. Prinsip NU adalah selalu
mempertahankan hal-hal yang baik dari yang lama sambil memilih hal-hal
baru yang lebih baik untuk menyatakan rasa memiliki terhadap bangsa dan
negara.
3. Asas Penyesuaian dengan Tuntutan Zaman
NU
bukanlah organisasi yang kaku dan tidak dapat berubah. Dengan asas ini
NU mengembangkan diri sambil menafsirkan kembali kegiatannya sesuai
dengan kebutuhan yang dirasakan sekarang dan untuk masa depan.
4. Asas Kemandirian
Dengan
asas ini NU selalu berusaha mendewasakan diri dalam usaha-usaha nyata.
Sebagai organisasi yang mengakar ke bawah (umat) asas ini harus
dipertahankan dan dikembangkan.
Penerimaan
NU atas Pancasila benar-benar suatu penerimaan yang penuh kesadaran; di
samping Pancasila dinilai sah secara theologis Islam dan bahwa
kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan adalah sesuai dengan
hakikatnya, NU memperkuat komitmennya terhadap bangsa dan negara karena
dengan demikianlah ia sekaligus menegaskan kehadirannya sebagai bagian
dari bangsa yang sedang membangun.
“Muktamar
rnenyadari bahwa Nahdlatul Ulama tengah berada pada titik-titik
perjalanan yang menentukan, tidak hanya pada dirinya saja, melainkan
juga bagi bangsa dan negara. Pembangunan nasional telah menginjak tahap
yang memiliki jangkauan sangat jauh ke masa depan bangsa, karena dalam
masa beberapa tahun inilah diletakkan dengan kokoh sendi-sendi yang
memungkinkan terciptanya landasan bagi tahap lepas landas pembangunan
itu sendiri … “
“Bahwa
perkembangan masyarakat, baik dalam lingkup bangsa maupun dalam lingkup
lebih kecil, tengah mengalami perpindahan dari pola tradisional menuju
kepada pola kehidupan moderen … Muktamar dengan penuh keprihatinan telah
melakukan tilikan mendalam atas masalah pergeseran nilai dan sikap ini,
terutama dengan menggunakan kaidah fiqh yang telah berusia ratusan
tahun, yaitu al-akhdzu bil jadidil aslah wal muhafadzatu ‘alal qadimis
salih (mengambil yang baru yang lebih berguna; dan tetap berpegang pada
nilai lama yang masih relevan).”(13l)
Penetapan
asas Pancasila dan perkembangan yang sedang ditempah bangsa dan negara,
telah ditanggapi dengan serius. Kembali menjadi organisasi keagamaan
membuat NU makin jeli melihat tantangan-tantangan bagi bangsa secara
umum dan bagi NU secara khusus. Langsung atau tidak langsung tantangan
yang dihadapi bangsa adalah tantangan yang juga dihadapi NU karena itu
tidak ada jalan lain kecuali menghadapinya secara bersama-sama pula!
Dengan
berbekal paham ahlusunnah wal jama’ah dan sejarahnya sebagai organisasi
keagamaan serta keterlibatannya dalam kehidupan bangsa, menjadikan NU
mampu dengan cepat dan terbuka menanggapi tantangan yang ada di
hadapannya.
NU
tidak perlu menciptakan theologia baru agar dapat menerima suatu
perkembangan; dengan menafsirkan ulang tradisi yang dianutnya, tradisi
panjang dan berliku, NU telah berhasil menyusun sistematika
penerimaannya atas Pancasila.
Kembalinya
NU menjadi organisasi keagamaan bukan saja sesuai dengan perkembangan
politik bangsa tetapi juga sejalan dengan upaya yang harus dilakukan
oleh NU, membina kehidupan keagamaan umat Islam. Dengan kembalinya NU
menjadi organisasi keagamaan maka ulama dapat mencurahkan tenaga dan
pikirannya untuk pengembangan umat, dan serentak dengan itu ia
mengupayakan pengembangan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembangunan
bangsa untuk memenuhi panggilan amar ma’ruf nahi munkar. Melalui
program yang dipersiapkan secara matang dan mencakup bidang yang luas,
NU benar-benar mengalihkan orientasi, dari politik kepada keagamaan,
dari status politis kepada pembinaan umat, dan dari prestise politis
kepada prestasi keagamaan dalam masyarakat. Hal itu dapat terjadi karena
penerimaan NU atas Pancacila bukan melulu keputusan politis, melainkan
juga penilaian keagamaan. Karena Pancasila sudah dinilai sah
penerimaannya secara keagamaan, maka NU dapat mengembangkan dirinya
dalam kepekaan terhadap perubahan dan dalam komitmen terhadap bangsa dan
negara yang sedang membangun.
Dengan sikap tengah dan lurus, toleran dan seimbang, yang dijabarkan dari doktrinnya yang tradisional (ahlusunnah wal jamaah)
dan pemahamannya atas sejarah bangsa, maka harapan NU agar kembali
menjadi panutan perkembangan umat rasanya bukanlah harapan yang
berlebih-lebihan.
Kesimpulan
Sebagaimana
telah dikatakan pada bagian pendahuluan bahwa dasar negara telah
menjadi pokok masalah sejak sebelum kemerdekaan dan juga setelah
kemerdekaan antara golongan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler
(nasionalis netral agama).(1) Penerimaan NU atas Pancasila merupakan
puncak sikap fleksibel, adaptif dan positif NU dalam menanggapi
perkembangan politik. Apa yang menjadi pokok masalah telah diselesaikan
oleh NU dengan menerima Pancasila. Penerimaan NU atas Pancasila bukanlah
akibat tekanan eksternal dan bukan penerimaan yang terpaksa, tetapi
penerimaan yang positif karena Pancasila telah dinilai sah berlandaskan
theologi Islam dan berlandaskan dalil-dalil atau pendapat tradisional
Islam. Di sinilah keunggulan golongan tradisional, NU memiliki kekayaan
rujukan untuk menanggapi sesuatu perkembangan dan tidak mudah jatuh
kepada sikap mutlak-mutlakan. Jadi sebenarnya yang paling menarik
mengenai isu Pancasila sebagai satu-satunya asas, bukanlah pada
penerimaan Pancasila itu sendiri melainkan pada argumen-argumen
tradisional yang diketengahkannya dalam menanggapi Pancasila sebagai
asas dan berbagai perkembangan lainnya. Yang diutamakan NU dalam
menanggapi setiap perkembangan bukanlah sikap ideologi Islam tetapi
sikap keagamaan tradisional.
Modal utama bagi NU menanggapi berbagai perkembangan adalah paham ahlusunnah wal jamaah.(2) Sebagaimana dirumuskan dalam Bab II bahwa pengertian ahlusunnah wal jamaah bagi
NU adalah pengakuan terhadap tradisi Islam dalam konteks Indonesia
yaitu bagaimana Islam masuk ke Indonesia dalam tradisi mazhab dan
sufisme.(3) Penerimaan atas sufisme membuat NU menerima kehadiran
tradisi lokal yang hidup dalam masyarakat Indonesia sepanjang berguna
untuk meningkatkan penghayatan agama. Dengan demikian apa yang
dilukiskan oleh Madjid sebagai sifat keindonesiaan(4)
dalam perkembangan Islam di Indonesia secara potensial sudah sejak
semula merupakan milik NU! Bahkan NU adalah pelopor mengembangkan keindonesiaan Islam itu! Paham ahlusunnah wal jamaah dikembangkan untuk menemukan sikap-sikap keagamaan yang tepat di dalam situasi tertentu; di sinilah pentingnya penatsiran fiqh, namun bukan melulu penafsiran fiqh tetapi penafsiran fiqh secara
mistik (seperti yang dikembangkan oleh al-Ghazali) di dalam hal NU
membentuk sikap keagamaannya.(5) Itulah sebabnya NU tidak memerlukan
ideologi politik dan justru dengan pendekatan atau penafsiran fiqh secara mistik membuat NU mampu merumuskan sikap yang positif dan integratif di
dalam perjuangan dan kehidupan bangsa. Dengan pendekatan mistik itu, NU
mampu melihat sesuatu perkembangan dengan lebih jeli — tidak sekedar
menilai dalam polarisasi islami dan tidak islami — tetapi menilai secara
lebih bervariasi sehingga dapat menjadikan sesuatu perkembangan
sepanjang tidak bertentangan dengan Islam sebagai jalan untuk
mengembangkan kehidupan keagamaan.
Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh, NU mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara moderen, walaupun banyak aspek kenegaraan pandangan serba fiqh itu
juga sering merupakan “hambatan” bagi pemegang pemerintahan untuk
melaksanakan wewenangnya. Yang jelas pandangan seperti itu —
bagaimanapun juga — akan berbenturan dengan pandangan yang memperlakukan
Islam sebagai ideologi kemasyarakatan, apalagi ideologi politik. Upaya
menampilkan Islam sebagai “jalan hidup alternatif” yang membentuk sistem
kemasyarakatan baru di luar yang telah ada, jelas sulit diterima oleh
para ulama NU. . . .(6)
NU
adalah organisasi keagamaan (jamiah diniyah) dengan ulama sebagai motor
penggeraknya. Peranannya sebagai organisasi keagamaan telah dijalankan
dengan menyatakan sikap-sikap keagamaan di dalam perkembangan kehidupan
bangsa, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Ciri-ciri penampilannya
adalah sikap yang fleksibel, adaptif dan positif. Bagi orang yang kurang memahami NU dengan mudah akan mencapnya sebagai opportunistik.
Sebagai organisasi keagamaan NU tidak mempunyai target-target politis
tertentu untuk diperjuangkan; yang diutamakannya adalah penghayatan dan
pengembangan agama. Karena itu ia tidak tampil secara agresif melainkan tampil secara responsif;
sebagaimana peranan ulama di dalam kehidupan umat memberi bimbingan
keagamaan demikian pula NU sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah)
melalui sikap-sikap keagamaan yang telah dinampakkannya dalam berbagai
perkembangan, NU memberi bimbingan keagamaan. Walaupun NU telah menjadi
partai politik pada tahun 1952, NU tetap mempertahankan ciri-ciri
organisasi keagamaan dalam menanggapi perkembangan politik, tetapi
ciri-ciri itu makin kabur setelah NU bergabung di dalam PPP. Setelah
bergabung di dalam PPP, NU larut ke dalam sikap ideologis dan tidak lagi
mengembangkan sikap keagamaan; kalau pun masih terdengar argumen
keagamaan, namun hal itu cenderung diambil sebagai legitimasi sikap
ideologis. Kekaburan ciri-ciri keagamaan itu terjadi serentak dengan
makin mundurnya peranan ulama dalam kiprah organisasi! Oleh karena itu
keputusan NU untuk kembali menjadi organisasi keagamaan, kembali kepada Khittah (Semangat)
1926 adalah langkah yang sangat tepat, sebab hanya dengan demikianlah
NU dapat kembali menjalankan peranannya sebagai organisasi ulama yang
hakikatnya membimbing kehidupan umat. Baik di dalam Masyumi maupun di
dalam PPP, NU tidak dapat menjalankan peranan keulamaannya secara utuh.
Dengan kembalinya menjadi organisasi keagamaan NU dapat mencurahkan
segala kemampuannya membina umat menghadapi modernisasi dalam masa
pembangunan kini.
Dengan
kembali menjadi organisasi keagamaan, NU memasuki babak baru; aspirasi
Islam tidak lagi diperjuangkan melalui wadah politik formal, tetapi
melalui proses transformasi kultural sebagai bagian inherent dari
bangsa Indonesia secara keseluruhan.(7) “Tujuan NU,” demikian
Abdurrahman Wahid, “adalah transformasi sosial secara lebih paripurna
dan lebih mendasar . . .”(8) Sambil mengamati bahwa sejak awal NU
mengembangkan diri dengan kearifan terhadap sistem budaya Indonesia,
maka memperjuangkan aspirasi Islam secara kultural merupakan upaya
kembali kepada ciri-ciri khas NU.(9) Pergumulan NU khususnya dan umat
Islam di Indonesia pada umumnya terhadap Pancasila sebagai isu nasional,
merupakan pergumulan khas umat Islam di Indonesia yang tidak dapat
diukur atau dinilai berdasarkan perkembangan yang dialami umat Islam di
negara-negara lain. Sebab cara-cara umat Islam memecahkan masalah yang
dihadapinya berbeda dari satu negara ke negara lainnya.(10) Menerima
Pancasila adalah bagian dari tanggung jawab umat Islam Indonesia,
khususnya NU terhadap perkembangan kehidupan bangsa.
Sebuah
perjalanan panjang dan berliku telah ditempuh oleh NU dengan mulus;
terbuktilah bahwa semua organisasi keagamaan tradisional semacam NU
mampu mengatasi tantangannya asalkan ia bersedia menyimak nuansa-nuansa
tradisinya. Bagaimana perjalanan NU selanjutnya setelah menerima
Pancasila sebagai asas dan kembali menjadi organisasi keagamaan (jamiyah diniyah) sejarahlah yang akan mencatatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar