Kamis, 10 Mei 2012

NU & PANCASILA

Oleh: Einar M. Sitompul
A. Bangkitnya Ulama 
Ketika NU bergabung di dalam PPP sebenarnya boleh dinilai bahwa NU telah kembali menjadi organisasi keagamaan karena PPP sudah menjadi wadah kegiatan politiknya. Tetapi ini hanya penilaian saja sebab NU belum melakukan pemulihan itu secara tuntas. Rupanya perhatian NU lebih tercurah kepada kegiatan politik melalui PPP. Upaya untuk menjernihkan status NU setelah bergabung dalam PPP baru dilakukan oleh NU dalam Muktamar XXVI 1979 di Semarang. Inilah muktamar pertama dan terakhir bagi NU setelah bergabung dalam PPP dan terlihat pula betapa lama jarak waktunya dengan muktamar XXV 1971. Sudah tentu NU sebagai organisasi keagamaan tidak intensif lagi mengikuti perkembangan politik dan menilainya dari sudut pemikiran keagamaan. Muktamar 1979 sudah menegaskan agar NU kembali kepada Khittah 1926, kembali menjadi organisasi keagamaan.(1) Hal ini didorong oleh perjalanan sejarah NU sebagai partai politik yang penuh dengah kekecewaan.(2) 
Untuk mencapai tujuan kembali kepada Khittah 1926, maka muktamar menyusun program lima tahun. Dalam kata pendahuluan program diuraikan maksud dan bidang sasarannya, 
Pada hakekatnya, Muktamar NU ke-26 adalah pemantapan NU sebagai jam’iyah sehingga kegiatan kualitatip yang mengisinya adalah pembenahan kembali organisasi masyarakat. Melalui kegiatan-kegiatan keagamaan dan masyarakat. Konsolidasi organisasi tersebut meliputi: a) Pemantapan penghayatan dan pengamalan asas aqidah Ahlusunnah wa Jama’ah; b) Penyusunan program dasar yang memberi arah yang tegas kepada kegiatan pengembangan NU; dan c) Tata organisasi yang menyangkut tata laksana, tata kerja dan personalia sehingga jelaslah pegangan bagi para fungsionaris dalam mengambil setiap keputusan dan tindakan.(3)
Sebenarnya keputusan ini sudah tegas sekali menjernihkan identitas NU sebagai organisasi keagamaan, tetapi karena semangat politis masih kuat sekali identitas keagamaan menjadi kabur kembali. Keputusan Muktamar 1979 agar NU kembali menjadi organisasi keagamaan hanya berhasil memulihkan NU sebagai organisasi keagamaan secara konsepsional tetapi gagal secara operasional. Dengan nada agak menyesalkan, Anam mengatakan bahwa pengurus baru “kurang mencerminkan adanya regenerasi dan pemisahan secara tegas siapa yang seharusnya mengurus NU dan siapa pula yang di PPP”.(5) Nakamura, sarjana Jepang yang turut menghadiri Muktamar 1979 itu mengamati bahwa Idham Chalid yang telah banyak mendapat kritik dari ulama, dengan keahlian retorikanya mampu menghimpun simpati dari para peserta sehinggaa dikukuhkan kembali menduduki jabatan ketua umum.(6)
NU benar-benar mengalami krisis identitas; semangat kembali menjadi organisasi keagamaan dikumandangkan tetapi langkah untuk kembali tidak dibenahi. Bila ia kembali menjadi organisasi keagamaan, siapakah yang akan menjalankan tugas itu karena pimpinan NU adalah juga pimpinan di PPP? Apakah mungkin bagi NU untuk menjadi organisasi keagamaan sambil mempertahankan status sebagai salah satu unsur dalam PPP di mana ia sudah banyak mengalami kekecewaan? Adalah logis bila krisis identitas berlanjut. dengan krisis organisasi. Ketika gagasan memberikan gelar Bapak Pembangunan kepada Presiden Suharto sedang hangat, organisasi pemuda NU, Ansor, mencetuskan pernyataan mendukung dengan menilainya sebagai “yang wajar dan tidak berlebih-lebihan, dan mempunyai arti penting” serta mengusulkan agar MPR “mempercayakan kepemimpinan nasional” kepada Jenderal Suharto.(7) Pernyataan ini dinilai oleh Anam berbeda bahkan bertentangan dengan keputusan Munas Kaliurang 1981 yang memutuskan bahwa untuk Presiden “tidak diperlukan tambahan sebutan-sebutan lainnya” dengan alasan “agar tidak mengurangi martabat Jabatan” Presiden, dan dalam soal pencalonan Jenderal Suharto “hendaknya diajukan secara konstitusional” kepada MPR hasil pemilu 1982 “tepat pada waktunya”.(8) NU larut lagi ke dalam perjuangan politik.
Arus balik yang drastis pada awal Mei 1982. Dalam pertemuan para ulama terkemuka diprakarsai oleh Rois Am dibahas apa yang disebut “kelemahan Idham Chalid”.(9) Kelemahan itu tidak dirinci karena dinilai “tidak etis bahkan dapat membangkitkan reaksi yang keras”.(10) Pertemuan itu memutuskan untuk memberhentikan Idham Chalid, tetapi caranya dibuat sehalus mungkin. Karena saat itu Idham Chalid sedang dalam perawatan maka hal itu dijadikan dasar untuk menilai bahwa Idham Chalid “tidak mungkm mengemban amanat muktamar”; atas dasar pertimbangan itu Idham Chalid “diminta mengundurkan diri serta menyerahkan Jabatan Ketua Umum PBNU kepada Rois Am”.(11) Semula Idham Chalid menerima dan menandatangani surat yang berisi pengunduran diri yang disodorkan oleh para ulama, tetapi kemudian ia mencabutnya kembali.(12) Kasus pengunduran diri Idham Chalid ini segera menggemparkan kalangan dalam dan luar NU, dan di dalam NU sendiri timbul pro dan kontra tindakan para ulama tersebut. Terlepas dari sisi pro dan kontra, tindakan ulama itu adalah suatu pertanda bangkitnya ulama yang selama ini sudah tersudut oleh perkembangan yang terjadi di dalam tubuh PPP dan kiprah kaum politisi di dalam tubuh NU sendiri — menyelamatkan NU agar NU tetap menjadi wadah ulama. Dilihat dari sudut wewenang yang ada pada Rois Am maka tindakan para ulama yang diprakarsai oleh Rais Am  itu adalah wajar dan sudah waktunya. Abdurrahman Wahid dalam komentarnya terhadap kasus itu menilai sebagai “titik yang sangat menentukan bagi masa depan NU, artinya kyai-kyai kerjanya sudah lebih cepat dari biasanya”.(13) Dan lebih lanjut ia menyatakan bahwa kasus itu tidak terlepas dari “unsur-unsur keagamaan”.(14) Ketika Idham Chalid mencabut kembali pengunduran dirinya, Rois Am menilai pengunduran diri dan penyerahan jabatan kepada Rois Am adalah sah secara hukum agama (syara’), 
. . . .penyerahan jabatan ketu umum dari tangan DR. K.H. Idham Chalid kepada Rois Am adalah sah menuru hukum syara’. Oleh karena itu kalau kasus semacam itu tidak ada dalam AD ART maka tidak pada tempatnya dicari akal-akalan sehingga menimbulkan berbagai macam tafsiran terhadap AD/ART sendiri. Kejadian itu harus dikembalikan kepada hukum syara’, yaitu hukum Islam yang harus diperjuangkan oleh Jami’ah NU. Kalau terjadi kasus seperti penarikan kembali pernyataan yang sudah dikeluarkan oleh DR. K.H. Idham Chalid, sedang di dalam AD/ART tidak ada maka mudah saja. Persoalan itu dikembalikan pada hukum syara’, bahwa pemberian berupa apapun kalau sudah diberikan, maka tidak boleh diminta kembali. Dalam hal ini termasuk juga jabatan Ketua Umum NU yang telah diserahkan kepara Rois Am maka tidak boleh diminta lagi. Kalau AD/ART berlawanan dengan itu maka berarti AD/ART NU tidak sesuai dengan hukum syara’. . . .(15)
Pertemuan para ulama yang menentukan masa depan NU itu berlangsung di Surabaya pada tanggal 1 Mei 1982, kota yang mempunyai arti historis bagi NU karena di kota itulah NU didirikan.(16) Dengan tindakan itu para ulama menunukkan kembali kapasitasnya sebagai ulama. Disadari bahwa prosesnya akan rumi bila mengikuti AD/ART padahal NU membutuhklan tindakan yang segera, karena itulah para ulama melalui Rois Am Ali Maksoem, tampil dengan mengandalkan hukum Islam.
Tindakan para ulama itu membuat pertentangan intern NU menjadi terbuka dan kaena sudah terbuka maka ia memerlukan penyelesaian yang segera. Idham Chalid yang mencabut pengunduran dirinya dengan alasan karena diprotes oleh pengurus wilayah menghimpun kekuatan dan menginginkan agar segera diadakan Muktamar.(17) Sedagkan para ulama lebih mempertahankan perlunya terlebih dahulu diadakan Munas (lengkapnya Musyawarah Nasional Alim Ulama NU) yang akan “merupakan rekomendasi bagi muktamar NU ke XXVII.(18) Sementara itu asas Pancasila sebagai isu nasional harus pula mendapat tanggapan NU. Karena pertenangan sudah terbuka masa dean NU tidak lagi ditentukan dirinya sendiri tetapi turut juga ditentukan oleh pemerintah (kepada pihak mana izin mengadakan muktamar/munas diberikan) dan bagaimana NU menanggappi asas Pancasila sebagai isu nasional. 
Pihak ulama berhasil memenangkan perhatian pemerintah yang terbukti dengan mendapat gren light (lampu hijau) untuk menyelenggarakan Munas. Munas dilangsungkan di pesantren Salafiah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, di pesantren yang dipimpin oleh K.H. As’ad Syamsul Arifin, bulan Desember 1983.(19) Sebelum itu pihak politisi (Idham Chalid dan kawan-kawan) dan kelompok ulama sama-sama mengadakan pendekatan kepada pemerintah. Bedanya menurut Irsyam, pihak ulama (yang disebutnya kelompok idealis sedangkan Idham Chalid kelompok realis) berhasil “menyampaikan terlebih dahulu ketetapan politik yang telah diputuskan oleh pemimin-pemimpin kelompok idealis langsung kepada Presiden”.(20) Menurut kalangan ulama (Syuriah) masalah asas Pancasila sudah dibicarakan lebih dahulu dengan Presiden ketika K.H. As’ad Syamsul Arifin menemui Presiden sebelum Munas. 
Kyai Haji As’ad Syamsul Arifin sesepuh NU dari Jawa Timur belum lama berselang telah diterima oleh Presiden Soeharo dalam sebuah pertemuan khusus. Dalam pertemuan itu KH As’ad Syamsul Arifin telah menegaskan pendirian sebagian besar ulama dan ummat Islam Indonesia bahwa mereka menerima Pancasila hukumnya adalah wajib… KH As’ad juga menyatakan pendapatnya tentang perlunya diadakan suatu musyawarah nasional alim ulama untuk meratakan pendirian itu. Munas tersebut antara lain akan memasyarakatkan sikap yang diutarakan KH As’ad dan sekaligus dilihat kemungkinan perubahan anggaran dasar NU sebagai konsekwensi dari pernyataan tersebut.. Pernyataan di hadapan Presiden Soeharto itu adalah sikap dan pendirian KH As’ad dan sama sekali bukan karena permintaan Presiden.(21) 
Apakah pernyataan semacam ini bukan mendahului atau melangkahi Munas? Mengapa para ulama (seperti K.H. As’ad) berani mengeluarkan pernyataan demikian? Apakah NU takut menghadapi tekanan? Bagaimana kalau Munas menolak sikap yang sudah dilontarkan secara terbuka itu? Pertanyaan demikian kurang tepat disampaikan kepada NU. Organisasi ini tidak dapat dimengerti dengan menggunakan mekanisme organisasi modern. Untuk memahami mengapa para ulama berani menyatakan pendapatnya terlebih dahulu dan mengapa Munas dengan mudah menerima asas Pancasila, kita harus memahami dari sudut kehidupan NU sendiri. Pertama, ulama dengan basis pesantren mempunyai wibawa yang kuat di mata umat. Para ulama yang menjadi konseptor keputusan Munas Situbondo (Ali Maksoem, Machrus Ali, As’ad Syamsul Arifin, Ahmad Siddiq, dan lain-lain) adalah ulama-ulama yang berwibawa dan pemimpin pesantren besar.(22) Kedua, sebagai pemimpin Islam tradisional, keputusan mereka diyakini bukanlah semata-mata berdasarkan pertimbangan politis tetapi benar-benar berdasarkan keagamaan. Ketiga, sebagai pemimpin umat dengan sendirinya mereka peka terhadap perkembangan dan kebutuhan umat. Sambil membantah pendapat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang konservatif dan kaku sehingga tidak mampu berkembang Montgomery Watt menegaskan bahwa sejarah Islam membuktikan kemampuannya untuk menyesuaikan diri (adaptasi) dengan perkembangan, seperti yang dikatakannya, 
. . .  jika seseorang melihat dengan seksama kepada sejarah Islam, ia akan mendapatkan banyak peristiwa berlangsungnya “adaptasi” itu secara sungguh-sungguh . . . . 
. . . perubahan-perubahan dalam Islam yang sifatnya adaptif telah terjadi pada masa lalu, sehingga ia akan membenarkan seseorang yang mengharapkan agar Islam dapat menyesuaikan dirinya dengan persoalan-persoalan masa kini.(23) 
Ada dua faktor yang memungkinkan perubahan adaptif itu, yaitu melalui “pemunculan seorang pemimpin yang kharisrnatis” dan “aktifitas-aktifitas para ulama atau yang lebih umum lagi, kaum intelektual”.(24) Ia memuji peranan dua orang theolog muslim yang telah mampu mengembangkan tradisi Islam (Sunni) dalam situasi baru, seperti al-Asyari dan al-Ghazali(25) (dua orang theolog yang sangat berpengaruh di kalangan NU). Dalam hal ini besar sekali peranan ijma (konsensus) untuk “mengadaptasikan ajaran dan tradisi Islam dengan situasi baru”.(26). “Konsensus atau persetujuan bersama masyarakat Islam ini, kemudian merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan, meskipun konsensus tersebut hanya bergerak lamban”.(27) Perkembangan NU membenarkan apa yang dikatakan oleh Watt di atas. 
Munas 1983 membahas empat masalah: 
  1. Pemulihan NU kepada Khittah 1926. NU kembali menjadi organisasi keagamaan dengan mengarahkan program NU kepada situasi pembangunan dan mengatur perangkat organisasi yang mendukung cita-cita NU sesuai dengan Khittah 1926; 
  2. Pemantapan Pancasila sebagai asas organisasi. Dibahas penerimaan Pancasila sebagai asas dan penjabarannya dalam anggaran dasar. 
  3. Penegasan batasan-batasan bagi penyaluran aspirasi politik warga NU melalui kekuatan sosial politik yang ada. 
  4. Pembahasan masalah keagamaan (masail diniyah).(28)
Masalah 1, 2 dan 3 berkait langsung dengan perkembangan baru yang harus ditanggapi NU dan penilaian secara kritis terhadap keberadaan serta kemelut yang dihadapinya sejak ia menjadi organisasi politik. Munas memutuskan menerima Pancasila dan memulihkan NU menjadi organisasi keagamaan sesuai dengan Khittah (Semangat) 1926.(29) Keputusan Munas itulah yang dikukuhkan oleh Muktamar XXVII yang berlangsung tanggal 8-12 Desember 1984 di Situbondo, di tempat yang sama dengan berlangsungnya Munas. Muktamar yang bersejarah ini dihadiri oleh Presiden dan para Menteri.(30)
Masalah yang utama tampaknya adalah Pancasila dalam kaitannya dengan Islam. Dan untuk itu keputusan Munas adalah sebuah, 
Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam 
  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. 
  2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. 
  3. Bagi Nabdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. 
  4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya. 
  5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua fihak.(31) 

B. Dasar-dasar Pemikiran Nahdlatul Ulama Menerima Pancasila  
Penerimaan NU atas Pancasila benar-benar dipikirkan oleh NU secara matang dan mendalam. NU adalah organisasi kemasyarakatan yang pertama menuntaskan penerima-annya atas Pancasila.(32) 
Kendati demikian hal itu bukanlah alasan untak menuduh bahwa penerirnaan itu karena ia bersikap akomodatif, dan juga tidak benar bahwa kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan atau meninggalkan politik praktis sebagai sikap yang emosional.(33) NU bukan hanya pertama menerima tetapi juga yang paling mudah menerima Pancasila. Muhammadiyah menerima Pancasila setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.(34) 
1. Konsep Fitrah  
Penerimaan NU benar-benar telah dipikirkan dari sudut pertimbangan keagamaan. Dalarn muktamar itu NU memahami ulang dasar-dasar keagamaannya dan dari sana merumuskan sikapnya terhadap perkembangan yang sedang dihadapinya. Dasar-dasar keagamaan paham ahlusunnah wal jama’ah dijabarkan sebagai berikut: 
Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fithri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.(35) 
Fithri atau fithrah (sifat asal, keadaan murni) adalah konsep yang sangat penting dalam Islam. Fithrah adalah dorongan yang sudah tertanam di dalam diri manusia untuk menemakan Tuhan, demikian Ali Issa Othman mengawali bukunya tentang Manusia Menurut Al-Ghazali.(36) Dorongan hati (fithrah) itulah yang menyebabkan manusia menyerahkan diri (islam ) kepada Allah; 
Inilah Islam pada hakekatnya: menyerahkan diri (self-commitment) sebagai responsi terhadap gerak hati yang tertanam di dalam fitrah manusia— suatu kedamaian batin yang tidak dapat diperoleh tanpa menemukan Allah dan menyembah Dia.(37) 
Dalam Quran seluruh alam dan manusia pada dasarnya tunduk (islam) kepada Allah (lihat Sura 22:18; 16:49,50; 13:15; 3:83; dan lain-lain).(38) Bila dianalisis lebih lanjut, maka pengertian islam menurut Quran mencakup hal-hal sebagai berikut, sebagaimana dirumuskan oleh Othman, 
Pertama : islam dari kosmos; 
Kedua: islam dari segala yang bernyawa (dawab) dan tidak  bernyawa;
Ketiga: islam dari semua manusia, baik sukarela atau terpaksa
Keempat: islam dari mereka yang mengikatkan diri kepada Allah secara sukarela;
Kelima : islam dari mereka yang mengikuti agama dari Allah -Islam-diturunkan melalui Muhammad, dengan didahului oleh nabi-nabi lainnya.(39) 
Dengan kata lain segala sesuatu adalah islam secara rela atau terpaksa dan hal itu adalah konsekuensinya, segala sesuatu adalah ciptaanNya sebab tidak ada di dalam alam yang di luar jangkauan 
Secara singkat islam tidak terbatas pada manusia saja, islam mencaku seluruh unsur yang ada, islam dari segala “sesuatu” dapat secara sukarela atau terpaksa. Tetapi di dalam kedua-duanya ia tetap merupakan muslim, karena jika tidak demikian ia harus berada di luar hal-hal yang ada dan bebas dari segala hukukmnya.(40) 
Menurut al-Ghazali, dalam upaya manusia mencapai kebahagiaan ia selalu terancam olein “kecintaan terhadap nafsu” yang dapat menghalanginya mengikuti fithrah.(41) Berdasarkan hal itu al-Ghazali melihat “ada tingkatan-tingkatan dalam islam, yang sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya”.(42) 
Sikap keagamaan NU seperti yang dirumuskan di atas dapat dipahami melalui pola pemikiran al-Ghazali ini. NU tidak bersikap antitesis terhadap suatu nilai masyarakat. Sepanjang suatu nilai atau sistem di dalam masyarakat tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, maka ia mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembangkan agar selaras dengan tujuan-tujuan di dalam Islam. Dalam pengertian itulah ia bersikap “menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia”. Sikap ini berbeda dengan sikap kaum pembaharuan, seperti yang sering dilontarkan oleh Natsir bahwa —dengan mengutip H.A.R. Gibb— “Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia adalah satu kebudayaan yang lengkap”.(43) 
Sikap seperti yang dilontarkan Natsir ini cenderung membawa Islam ke dalam sikap antitesis; Islam sebagai suatu totalitas yang lengkap akan dihadapkan dengan sistem lain yang dengan mudah akan dicap tidak islami dan pada giliranya akan menimbulkan pertentangan dengan nilai-nilai yang sudah ada. Ketika membicarakan pemikiran teoritis Islam, Wahid membantah bahwa Islam mempunyai konsep baku tentang negara.(44) Pemikiran yang demikian kata Wahid dianut oleh pemikiran idealistik. Bertentangan dengan itu ia mengajukan pemikiran realistik, 
Jenis pemikiran realistik tidak begitu tergoda oleh bangunan utopis dari sebuah negara ideal menurut wawasan Islam, melainkan lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis dapat ditampung dalam pandangan Islam tentang negara. Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan… membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan atau tercegah lagi. Dengan kata lain, kesepakatan akan bentuk negara… dilandaskan… pada kebutuhan masyarakat pada suatu waktu. Inilah yang membuat mengapa hanya sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara…(45) 
Berbicara tentang sesuatu masyarakat dari sudut pandangan  Islam, al-Ghazali berjasa besar menyumbangkan pemikiran yang realistik. Timbulnya masyarakat hampir merupakan semacam keharusan karena manusia itu dalam hidupnya berusaha mengisi kebutuhan dan kenikmatan; usaha-usaha mengisi kebutuhan dan kenikmatan itu yang disebut oleh al-Ghazali sebagai dunya. Selengkapnya, dunya itu berarti, 
  1. hal-hal konkret yang tertentu; 
  2. kenikmatan yang diperoleh manusia dari hal-hal konkret tersebut,  dan 
  3. pengolahan-pengolahan yang dilakukan manusia terhadap hal-hal konkret tersebut untuk dinikmatinya.(46)
Dunya adalah salah satu aspek dari aktivitas manusia. Aspek lainnya yang tidak dapat dipisahkan dari dunya adalah aktivitas keagamaan (din)(47). Masyarakat berkembang dalam kompleksitas kebutuhan, ambisi, fungsi, tujuan, dan sebagainya. Kendatipun aktivitas manusia dapat diselewengkan oleh berbagai nafsu dan ambisi, ia tetap diperlukan demi kelestarian sesuatu masyarakat. “Adanya setiap sesuatu itu mempunyai maksud tertentu. Jadi dari sudut pandangan ini tak ada sesuatu pun yang buruk”.(48) Baik buruknya sesuatu di dalam masyarakat “tergantung kepada pengaruhnya terhadap kehidupan manusia”.(49) Yang penting bagi al-Ghazali mengenai aktivitas untuk mencapai kebahagiaan tertinggi atau pemenuhan diri (Sa’ adah)(50). Di sinilah masyarakat memerlukan petunjuk, ajaran dan rahmat Allah. 
Dilihat dari sudut pandangan al-Ghazali itu maka titik berangkat menilai masyarakat bukanlah sejumlah doktrin yang dikembangkan secara subyektif, melainkan perkembangan masyarakat dari sudut potensi yang terdapat dalam diri manusia sebagai ciptaan Allah (fithrah). Titik berangkat dari fithrah membuat NU bersikap inklusivistis karena mengakui “nilai-nilai yang baik yang sudah ada” dan akan bersikap positif-kritis karena bertujuan “menyempurnakan” nilai-nilai itu. Dengan meminjam istilah Wahid NU akan menjadikan nilai-nilai yang sudah ada sebagai “persambungan vertikal”(52), untuk mengantarkan masyarakat berjalan sesuai dengan tujuan Islam. 
Dalam Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam seperti yang saya kutip di atas, dalam bagian pertama ditegaskan  bahwa Pancasila bukan agama dan tidak dapat menggantikan agama. Pernyataan yang demikian sudah sering diucapkan oleh presiden Suharto setelah P4 menjadi keputusan MPR tahun 1978.(53) Pancasila dipandang sebagai suatu produk masyarakat yang diperlukan untuk kelestarian itu sendiri. Ia tidak lagi dicurigai sebagai saingan agama seperti sikap NU ketika asyik menggumuli politik praktis. Ketika NU mulai mengambil sikap untuk kembali menjadi organisasi keagamaan maka ia dapat menilai secara lebih realistik. Pancasila dinilai sebagai falsafah bangsa sedangkan agama adalah wahyu. “Pada dasarnya, sila-sila dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, kecuali jika diisi dengan tafsiran atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam”.(54) Sering dikatakan bahwa Islam tidak dapat memisahkan agama dan politik. Itu memang benar dan NU tidak memisahkan agama dan politik atau agama dengan masyarakat, tetapi ia membedakan mana bidang yang berguna ditanggapi dan mana yang tidak berguna; dan mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak demi tujuan keagamaan. Tepat seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali: 
Mencari kebenaran meminta sang pencarinya untuk membedakan antara hal-hal dan tujuan yang penting dan perlu yang ada dalam masyarakat dengan hal-hal dan tujuan-tujuan yang tidak penting dan tidak perlu.(55) 
Dalam deklarasi termaktub penerimaan atas Pancasila diputuskan sebagai dasar dan jalan bagi NU untuk menjalankan syariat (hukum agama) Islam; 
Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya ummat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’atnya. 
2. Konsep Ketuhanan  
NU menilai rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 (ayat 1) UUD 1945 —yang menjiwai sila-sila lainnya mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam(56). Pasal 29 UUD 1945 itu berbunyi:  Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esas.(57) 
Di sini yang dinilai oleh NU adalah kedudukan agama dalam negara atau hubungan agama dengan negara. Sebagaimana kita ketahui hubungan antar agama dan negara adalah bersifat rumit dan krusial. 
Secara teoritis terdapat empat kemungkinan hubungan antara negara dan agama: 
  1. Negara memperalat agama demi kepentingan politik; misalnya Kekaisaran Romawi Kuno, pemerintah Tsar Rusia sampai 1917. 
  2. Agama menguasai masyarakat politis. Dengan demikian pemerintah dianggap dilakukan menurut kehendak Ilahi seperti diwahyukan menurut kepercayaan agama tertentu. Pola pemerintah yang disebut teokrasi itu dapat dilaksanakan dengan cara yang berbeda-beda: (1) lewat seorang raja keturunan ‘Ilahi’ atau penjelmaan suatu dewa (kerajaan-kerajaan kuno di Timur Tengah, Dewa-Raj dalam Kerajaan Majapahit dan Kediri, Tenno Heika di Jepang) atau (2) lewat kaum imam, ayatulah, brahma, biksu atau pelaksana-pelaksana kultus lainnya (misalnya kaum Sadusi di Israel pada jaman Jesus, Lamaisme di Tibet, Iran di bawah Khomeini), bentak itu disebut hierokrasi, atau (3) lewat syariat agama tertentu yang ditafsirkan oleh ahli-ahli hukum -suci (Turki sampai 1922, Saudi Arabia) pola itulah yang disebut nomokrasi… Bentuk sekularistis dari ‘teokratis’ adalah ideokratis: suatu ideologi merupakan norma tertinggi dan mutlak bagi segala urusan politik dan sosial (misalnya Marxisme dalam negara komunis). 
  3. Agama dan Negara dipisahkan. Itu dapat dilakukan secara radikal dan dalam semangat anti-agama, sehingga merugikan agama, misalnya di Perancis pada tahun 1905 dan sekarang ini di negara-negara komunis … Akan tetapi ada juga pemisahan atau lebih tepat pembedaan antara negara dan agama, yang menguntungkan kedua belah pihak. Sebab kedua-duanya saling menghargai wewenang dan bidang masing-masing, misalnya di Amerika Serikat. 
  4. Pola pembedaan dan kerjasama di antara negara dan agama (—agama) tanpa mencampuradukkan kedua itu; misalnya seperti dicita-citakan dalam Negara Pancasila yang murni di Indonesia.(58) 
Negara Pancasila sering disifatkan sebagai jalan tengah di antara negara agama dan negara sekuler. Negara membantu mengembangkan kehidupan beragama tetapi tidak mencampuri kehidupan intern umat beragama. Presiden Suharto menjelaskan: 
Sebagai Negara Pancasila kita tidak menganut faham sekuler, sehingga Negara dan Pemerintah sama sekali bersikap tidak memperdulikan peri kehidupan beragama kita. Karena itu Pemerintah tidak menempatkan usaha dan kegiatan pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama sebagai masalah masyarakat dan umat beragama semata-mata. Di lain pihak, negara kita juga bukan negara agama dalam arti didasarkan atas salah satu agama. Dalam hubungan ini, maka negara tidak mengatur dan tidak ingin mencampuri urusan syariah dan ibadah-ibadah agama yang umumnya terbentuk dalam aliran agama masing-masing.(59) 
Prinsip Ketuhanan yang merupakan pokok perdebatan sengit di antara kalangan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler sejak sebelum kemerdekaan diselesaikan secara tuntas oleh NU dengan menyatakan bahwa sila itu mencerminkan tauhid Islam. Mencerminkan berarti membayangkan atau menggambarkan sesuatu perasaan, keadaan, batin, dan sebagainya.(60) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dinilai sudah membayangkan atau menggambarkan apa yang diinginkan oleh tauhid Islam. K.H. Ahmad Siddiq yang sejak Muktamar 1984 terpilih sebagai Rois Am, orang yang boleh dikatakan konseptor utama keputusan Munas 1983 dan Muktamar 1984, dalam makalahnya yang disampaikan pada Muktamar mengatakan: 
a) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan keesaan Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid; 
b) Adanya pencantuman anak kalimat “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa” pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa.(61) 
Pengertian mencerminkan tampaknya sudah dipilih secara matang. Tidak ada disebutkan bahwa itu sesuai dengan ajaran tauhid Islam. Bukankah mempersamakan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tauhid dibantah oleh kalangan nasionalis sekuler dan kalangan lainnya yang non-Islam?(62) Juga tidak dikatakan bahwa itu tak ada kaitan dengan tauhid Islam. 
Al-Ghazali dalam sebuah tulisannya (Essai Mengenai Jerusalem) yang melukiskan perjalanannya berkelana sebagai seorang sufi yang mencari kebenaran, tulisan yang ditujukan kepada kaum awam berkata tentang asal mula kepercayaan: 
Kepercayaan kepada Allah lahir di dalam diri setiap manusia karena fitrahnya (sifat yang ditanamkan Allah ke dalam diri manusia sewaktu menciptakannya), dan tak seorang pun dapat menghindari dorongan fitrahnya untuk mencari pengetahuan mengenai Allah … lagi pula, di dalam Al-Qur’an kita jumpai banyak sekali “pertanda-pertanda” yang dapat berperan sebagai dasar kepercayaan kepada Allah … yang mudah dipahami … untuk membuatnya percaya kepada Pencipta Yang Tunggal yang memerintah dan mengendalikan alam semesta.(63) 
Selanjutnya, al-Ghazali mengenal tingkatan pemahaman akan keesaan Allah sehubungan dengan perkembangan diri agar sampai kepada pengenalan yang penuh —menurut kacamata sufisme— tetapi sepanjang untuk orang-orang awam al-Ghazali cukup puas dengan pemahaman yang sederhana. 
Sejauh kepentingan orang-orang awam, Al-Ghazali merasa cukup puas bahwa usaha mereka untuk mencari Allah cukup dijamin oleh dorongan alamiah dari fitrah masing-masing dan petunjuk-petunjuk (syawahid) yang banyak serta beraneka ragam yang dapat kita jumpai di dalam Al-Qur’an ..(64) 
Ditinjau dari pandangan al-Ghazali ini ditegaskan bahwa kendatipun Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dikatakan identik dengan Tauhid bukan berarti dapat dilepaskan dari penilaian Islam Secara universal karya Allah seluas ciptaan dan dapat dikenal melalui ciptaanNya oleh sebab itu Islam hanya perlu mengembangkan fithrah manusia itu. Karena itu Islam tidak akan menerima suatu negara sekuler sebab hal itu melepaskan sesuatu bidang dari keagamaan. Sebab Islam tidak mengenal pemisahan agama dari politik. Bagi NU yang penting ia dapat menegakkan nilai-nilai keagamaan (Islam) di segala bidang atau wilayah kehidupan. Dengan kata lain Islam dapat menjalankan fungsinya terhadap masyarakat. Fungsi itu, menurut Wahid ketika ia berbicara tentang kebudayaan adalah fungsi inspiratif, yaitu dapat “memberikan kekuatan pendorong”; dan fungsi normatif, yaitu dapat “mengatur dan mengarahkan” kehidupan masyarakat”(65). Peluang untuk itu sudah terbuka secara potential dalam Negara Pancasila, karena dalam negara ini NU menilai negara Indonesia terjamin wawasan keagamaannya! Ketuhanan Yang Maha Esa sekarang menjadi suatu fithrah bangsa Indonesia untuk dikembangkan lebih lanjut sehingga tercapai tingkat pemahaman Keesaan yang sesuai dengan penilaian Islam dan pada gilirannya tercapai pula masyarakat keagamaan (Islam) yang sejahtera! 
Pada titik sebagai sumber inspiratif dan sekaligus batasan normatif dari ajaran inilah sebuah konsep menyeluruh tentang Islam sebagai Ad-Din (Agama, huruf besar untuk menunjukkan klaim kebenaran tunggal bagi dirinya…) … Islam sebagai keimanan, hukum agama (Syari’at), dan pola pengembangan aspek-aspek kehidupan, dalam totalitasnya berfungsi sebagai jalan hidup yang akan membawakan kesejahteraan bagi umat manusia. Dalam totalitas jalan hidup itu dirumuskan arah, orientasi, wawasan dan lingkup kehidupan perorangan dan bermasyarakat manusia, dengan pola hubungan antara kaum muslimin dan yang bukan muslimin diatur didalamnya … Dalam keadaan demikian, tidak lagi akan ada hal-hal yang tidak berwawasan keagamaan, antara wilayah agama dan wilayah-wilayah lain sudah tidak ada perbedaan lagi.(66) 
Konsep Islam sebagai sesuatu yang menyeluruh (ad-Din) adalah konsekuensi logis dari ajaran Keesaan Allah (tauhid). Ia adalah  konsep bukan ideologi baku yang tinggal diterapkan saja dalam  masyarakat, melainkan dengan menghimpun segala sesuatu agar
“berfungsi secara harmonis di bawah kekuasaan Allah Yang Maha Esa”(67) Di mata al-Ghazali segala ciptaan Allah tidak ada yang diciptakan dengan sia-sia, karena apa yang baik dan yang buruk diukur manfaatnya terhadap kehidupan.(68) Adalah menjadi tugas orang yang taat kepada Allah (islam) “menggunakan setiap karunia  (fadl) setiap hal yang rnenyejahterakan manusia sedemikian rupa,  sehingga menyempurnakan kebijaksanaan Allah di dalam eksistensi karunia tersebut”.(69) 
Wawasan keagamaan yang diutamakan oleh NU diperkuat pula oleh Pembukaan UUD 1945 yang memuat anak kalimat “Atas berkat rakhmat Allah”.(70) Menurut Sidjabat ketika membahas konsep Ketuhanan dalam sila Pancasila dalam rangka tuntutan kalangan nasional muslirn agar negara berdasarkan Islam, mengatakan bahwa anak kalimat “Atas berkat rakhmat Allah” digunakan untuk memperkuat tuntutan itu.(71) Bagi kalangan muslim nama itu khas nama Islam sebab tidak ada Allah lain kecuali yang dikenal oleh kaum muslimin melalui Quran (“Qur’anic Allah”).(72) Kendatipun penghayatan keagamaan di kalangan Islam di Indonesia dapat saja diliputi oleh pengaruh sinkretisme den mistisme, mempercayai Allah sebagai yang Esa dan maha kuasa tetap merupakan sesuatu yang mutlak.(73 Memang, Pancasila itu sendiri bersifat filosofi, tetapi bila kita perhatikan rumusan sila pertama Pancasila dan anak kalimat “Atas berkat rakhrnat Allah” di dalam Pembukaan UUD 1945 maka negara Indonesia benar-benar mengutamakan landasan dan wawasan keagamaan bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dan wawasan keagamaan itu menurut Mukti Ali sesuai dengan watak kehidupan bangsa Indonesia. 
Dengan memperhatikan UUD 1945 dengan Pembukaannya kami berpendapat bahwa pendekatan terhadap UUD 1945 harus pendekatan agama. Ini berarti bahwa pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pengertian agama, dan bukan pengertian falsafi. Hal ini disebabkan karena yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah “Allah”, dan “Allah” adalah istilah agama, bukan istilah filsafat …  
Indonesia dengan Pancasilanya adalah bukan negara sekuler dan tidak teokrasi. Di dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Mana Esa… memberikan bimbingan kepada tindak laku bangsa Indonesia. Ya, bahkan kesanggupan Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Mungkin hal ini juga memang sesuai dengan watak kehidupan bangsa Indonesia … yang hidup dan kehidupannya selalu religious ..(74) 
Watak kehidupan bangsa Indonesia yang religius yang dibakukan dalam bentuk UUD 1945 —yang sebenarnya merupakan pengejawantahan berbagai tradisi keagamaan— bila disimak lebih dalam tidak jauh berbeda dengan watak NU sebagai organisasi keagamaan yang tradisional khususnya penerimaan NU atas tradisi sufistik maka dengan mudah NU menerima Pancasila dengan mengutamakan landasan keagamaan. Dengan menerima Pancasila berdasarkan pertimbangan theologis seperti diuraikan di atas, NU telah menegaskan sikapnya bahwa watak keagamaan (bagaimanapun itu ditafsirkan) sedikit banyak telah memenuhi aspirasi Islam, yaitu segala tindak-laku di dalam masyarakat —terutama kebijakan-kebijakan politis— akan menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai tolok ukur!
3. Pemahaman Sejarah  
Pertimbangan di atas dalam menerima Pancasila diperkuat oleh Muktamar dengan mengetengahkan peranan umat Islam menentang penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. 
Beberapa pokok pikiran K.H. Ahmad Siddiq menegaskan: 
  1. Perjuangan ummat Islam Indonesia untuk menolak penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah telah berlangsung sejak lama. 
  2. Ketika perjuangan merebut kemerdekaan sudah mendekati keberhasilannya, ummat Islam memberikan saham yang sangat besar dalam persiapan lahirnya negara Indonesia merdeka. Melalui para pemimpinnya, ummat Islam ikut menentukan wujud, azas dan hakum negara yang akan lahir itu. 
  3. Setelah Negara Republik Indonesia diproklamasikan, ummat Islam tanpa ragu-ragu membela dan mempertahankan kemerdekaan itu, bukan saja sebagai kewajiban nasional, melainkan juga sekaligus sebagai kewajiban agama. 
  4. Ketika revolusi fisik telah selesai, ummat Islam rnemberikan saham pula dalam pengisian kemerdekaan yang dicapai dengan penuh pengorbanan itu. Keikutsertaan ummat Islam itu terbukti dalam dua jenis kerja besar . . .  (a) ummat Islam berhasil turut menjaga keutuhan negara dari gangguan gerakan-gerakan separatis dan pemberontakan-pemberontakan bersenjata; (b) Dalam era Orde Baru, ummat Islam turut mengisi kemerdekaan dalam bentuk partisipasi penuh dalam Pembangunan Nasional yang sedang berlangsung dewasa ini.(75) 
Fakta sejarah dibentangkan di mana peranan umat Islam besar sekali, bukan untuk mengklaim status politis bagi umat Islarn, tetapi untuk menegaskan umat Islam merupakan bagian yang integral dari perjuangan bangsa. Nilai sejarah terletak dalan; pemahaman fakta-fakta yang ada. Dalam rangka nasionalisme ia dapat menjadi pedang bermata dua, ia dapat membangkitkan solidaritas dan dapat pula menimbulkan perpecahan, seperti yang terjadi di dunia Arab modern yang mayoritas Islam.(76) 
Nilai sejarah terletak pada bagimana kita menafsirkan atau memahaminya dan tak jarang penafsiran atau pemahaman itu disesuaikan dengan kebutuhan zaman.(77) Dengan diperkuat oleh dalil-dalil hukum Islam (fiqh) K.H. Ahmad Siddiq mengambil kesimpulan keagamaan:
a) mendirikan dan membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan duniawi wajib hukumnya. 
b) kesepakatan bangsa Indonesia untuk mendirikan negara Republik Indonesia adalah sah dan mengikat semua pihak, termasuk ummat Islam; 
c) hasil kesepakatan yang sah itu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah sah dilihat dari pandangan Islam, sehingga harus dipertahankan dan dilestarikan eksistensinya;
d) sahnya kesepakatan, hasil kesepakatan dan keterikatan semua pihak itu berkelanjutan pada hal-hal berikut:  — kewajiban menurut wujud, azas dan hukum dasar negara sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan;  — kewajiban menjaga dan mengamalkan azas dalam hukum dasar sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan, berarti kewajiban menjaga agar azas dan hukum dasar itu tidak disimpangkan dan diselewengkan;
— kewajiban untuk taat kepada penguasa negara yang sah, dalam hal yang tidak mengajak kepada kekufuran! ingkar terhadap Allah! dan kemaksiatan yang nyata;
— kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar (melakukan apa yang diketahui baik dan menjauhi apa yang dibenci Allah) dan saling menasehati, tidak terkecuali kepada Pemerintah, menurut cara-cara yang sebaik-baiknya;  — kewajiban untuk ikut serta secara aktif dan konstruktif dalam upaya mewujudkan tujuan didirikannya negara.(78) 
Dari pendapatat-pendapat yang dijadikan dalil untuk kesimpulan keagamaannya, dapat kita baca nama-nama yang terkenal dalam sejarah Islam seperti Abu Huraira(79), Ahmad ibn Hanbal(80), Ibn  Khaldun(81), dan sebagainya. Terbukti bahwa kelompok tradisional seperti NU dalam menanggapi perkembangan sosial politik sanggup melakukannya tanpa kehilangan hakikatnya sebagai kelompok tradisional, kendatipun ia sering dituduh kaku dan lamban, karena justru kesetiaan kepada tradisi membuat ia sanggup merumuskan sikap-sikap keagamaan yang relevan dengan menafsirkan sumber-sumber klasik! Tepatlah apa yang dikatakan oleh Wahid dengan mengutip Hurgronje bahwa, 
Islam di Indonesia yang kelihatan statis dan tenggelam dalam kitab-kitab salaf abad pertengahan itu sebenarnya mengalami perubahan perubahan yang fundamentil; perubahan-perubahan itu demikian perlahan, rumit dan mendalam, sehingga hanya orang yang dapat mengamatinya secara hati-hati dan teliti dapat mengetahui perubahan tersebut.(82) 
Selanjutnya dia mengatakan —saya rasa tentang potensi ulama sebagai penafsir ajaran agama, 
Karena pemahaman atas isi ajaran agama dipegang oleh pemuka-pemuka agama (religious elite) yang biasanya juga menjadi kelompok pimpinan (elite class) dalam hampir semua struktur masyarakat, maka sesuai dengan dinamika yang dimiliki oleh kelompok pimpinan itu sendiri, mau tidak mau isi ajaran-ajaran agama itu akan selalu mengalami proses pembaharuan pemahamannya.(83) 
Pengakuan atas negara berdasarkan dua dalil. Pertama berasal dari sebuah hadis yang berbunyi: “Tak diperkenankan bagi tiga orang yang berada di sebuah lokasi di bumi ini kecuali menetapkan salah satu di antara mereka sebagai pemimpin”.(84) Dalil ini mirip dengan asal mula negara menurut teori alamiah (naturalis); menurut Aristoteles yang pertama kali mengemukakannya bahwa negara adalah ciptaan alam karena itulah sudah kodrat manusia untuk hidup bernegara.(85) “Negara adalah organisasi yang rasional dan ethis
yang memungkinkan manusia mencapai tujuannya dalam hidupnya, untuk mencapai yang baik dan adil”.(86) Tampaknya teori Aristoteles ini juga mempengaruhi al-Ghazali ketika ia berbicara tentang masyarakat, 
… Allah telah pula menciptakan ke dalam diri manusia hasrat yang tak dapat dihindarinya untuk berhubungan dengan manusia-manusia lain. Dengan perkataan lain, dalam menentukan sifat manusia seperti telah dilakukan-Nya itu, Allah telah membuat masyarakat sebagai sebuah keharusan.(87) 
Yang penting di sini bukanlah kodrat manusia melainkan adalah penegasan bahwa adanya negara sesuai dengan kehendak Allah atas manusia ciptaanNya. Karena seperti yang ditegaskan oleh Rahman Zainuddin dengan mengutip Ibn Khaldun bahwa timbulnya kepemimpinan dalam masyarakat menurut Islam berkait erat dengan kelanjutan kehidupan manusia.(88) “Dalam pandangan Islam, perincian-perincian tentang bagaimana penunjukan penguasa dan bentuk-bentuk pelaksanaan kekuasaan seluruhnya terserah kepada manusia itu sendiri”.(89) Yang kedua, adanya negara dilihat oleh NU
dalam rangka “upaya mendatangkan kemaslahatan (kesejahteraan ) dan menjauhkan kerugian/kerusakan, dan ini wajib menurut kesepakatan umat”.(90) Dengan kata lain negara diperlukan untuk peningkatan kehidupan manusia yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Sepanjang nilai-nilai keagamaan mendapat perhatian negara maka upaya peningkatan kehidupan itu “sah dan mengikat semua pihak, termasuk umat Islam”. Konsepsi Islam yang universalistik dikembangkan sehingga NU mempunyai landasan yang sah untuk mengintegrasikan diri dengan perkembangan dan sekaligus menyingkirkan sikap yang ingin mendominasi perkembangan! Secara asasi dan asali berdirinya negara sudah mencerminkan manifestasi aspirasi Islam; kendati negara itu sendiri tidak berdasarkan Islam tetapi ia mempunyai “kewajiban untuk ikut serta secara aktif dan konstruktif dalam upaya mewujudkan tujuan didirikannya negara.” Watak NU yang tradisional dalam arti mempunyai sumber dalam tradisi, membuat NU mampu memilih apa yang terbaik tetapi sah untuk kelangsungan dan perkembangan Islam dalam situasi yang baru! 
Pemahaman sejarah, peran serta umat Islam dalam kehidupan bangsa, dan wawasan keagamaan yang dianut oleh negara, yang dinilai sah menurut Islam, maka K.H. Ahmad Siddiq menyimpulkan sikap NU, 
Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara.(91) 
Negara Indonesia yang berdirinya diakui sah menurut Islam sekarang menjadi ruang lingkup umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya! 
Penerimaan NU atas Pancasila ditegaskan di dalam Anggaran Dasar. NU menerima dengan “panjang-lebar”; ia menerima dengan sikap positif—menerima dalam rangka perjuangan bangsa dan negara mencapai masyarakat adil dan makmur. Penerirnaan atas Pancasila sudah dimuat di dalam Muqaddimah (Pembukaan) Anggaran Dasar, 
Bahwa kemaslahatan dan kesejahteraan warga NAHDLATUL ULAMA adalah bagian mutlak dari kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka dalam perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita seluruh masyarakat Indonesia, dengan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, organisasi NAHDLATUL ULAMA berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  
Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bagi ummat Islam merupakan kepercayaan terhadap Allah SWT sebagai inti aqidah Islam yang meyakini tidak ada Tuhan selain Allah SWT.(92) 
Pada pasal 2 Anggaran Dasar dicantumkan asas Pancasila dan Islam tidak lagi disebut asas tetapi sebagai aqidah. Dalam pasal 3 disebutkan: 
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.(93) 
Ketika NU menjadi partai politik Islam disebutkan sebagai asas partai dan aqidah belum disebutkan entah sebagai apa.(94) Demikian Juga Muktamar XXVI 1979 di Semarang juga tidak ada menyebutkan aqidah dan Islam masih disebutkan sebagai asas.(95) Mengapa sekarang menyebutkan Pancasila sebagai asas dan Islam sebagai aqidah
Tentang perubahan itu, Sa’dullah Assaidi menjelaskan: 
.. masalah yang dihadapi bangsa, termasuk ulama NU, sesuai dengan konstelasi politik adalah Pancasila sebagai satu-satunya asas. Hal ini bagi Nahdlatul Ulama merupakan waqi’ah (peristiwa aktual), yang tidak di-hadapi secara kaku namun dihadapi dengan teori keagamaan.(96) 
Dengan meneliti beberapa ayat-ayat Qur’an terdapat tiga lafal yang berasal dari “asas” (Sura 9:108 dan 109) yang berkaitan dengan asas pendirian mesjid sehingga disimpulkan bahwa mencantumkan asas bukanlah mutlak; yang mutlak adalah taqwa (ketaatan kepada Tuhan). Taqwa itulah yang ingin ditegaskan oleh NU dengan mencantumkan aqidah dan aqidah itu dijalankan menurut paham  ahlusunnah wal jamaah
Dalam Islam, aqidah ialah iman atau kepercayaan. Sumbernya yang pasti ialah Qur’an. Iman . . . yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari segala sesuatu . . .  
Aqidah adalah masalah fundamentil dalam Islam, ia menjadi titik tolak permulaan untuk menjadi Muslim. Sebaliknya, tegaknya aktivitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang menerangkan bahwa orang itu memiliki aqidah…(98) 
Saya rasa yang penting bukanlah mempertanyakan mana yang lebih tinggi asas atau aqidah, karena di dalam Anggaran Dasar 1926 tidak ada disebutkan asas maupun aqidah. Yang dicantumkan adalah ciri khas NU sebagai penganut mazhab dalam memberlakukan Islam. Yang penting bagi NU adalah pembedaan (bukan pemisahan!); asas berarti pengakuan atau dukungan terhadap negara di mana ia hidup dan bergerak dan negara itu diakui sah secara Islam, sedangkan aqidah menyatakan dengan tegas ciri-ciri keislaman yang dianutnya yaitu ahlusunnah wal jamaah. Perubahan Anggaran Dasar —merupakan penjabaran langsung dan tegas dari perkembangan pemikiran keagamaan di dalam NU; kalau negara adalah “upaya final” seluruh bangsa khususnya umat Islam dan kalau wawasan keagamaan negara sudah diakui sah, maka pencantuman Pancasila sebagai asas merupakan suatu konsekuensi logis. Karena persoalan Pancasila sudah tuntas maka yang tinggal sekarang bagi NU adalah bagaimana memberlakukan Islam menurut aqidah (keyakinan) ahlusunnah wal jamaah di bumi negara Pancasila. 

C. Nahdlatul Ulama Kembali Menjadi Organisasi Keagamaan 
Penerimaan atas Pancasila berkait erat dengan semangat NU untuk kembali menjadi organ sasi keagamaan (Jamiah diniyah). Sebab bila ia sudah mengakui negara dan Pancasila sah menurut Islam maka peranan sebagai partai politik menjadi tidak relevan lagi. Apalagi NU sudah menyadari selama menjadi partai politik ia telah banyak menghabiskan tenaga untuk prestasi politis sedangkan usaha-usaha keagamaan terbengkalai. Kalau segala aspirasi politis sekarang harus berlandaskan Pancasila maka jalan yang terbaik bagi kehidupan dan pengembangan agama adalah dengan benar-benar menjadi organisasi keagamaan! Itulah yang ditegaskan dengan semboyan Kembali Kepada Khittah (Semangat) 1926 saat NU berdiri sebagai organisasi keagamaan.
1. Makna Khittah 1926  
Dalam keputusan Munas 1983 tentang “Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926″, ada empat hal sebagai konsiderans. Pertama, sebagai organisasi keagamaan NU telah mengalami hambatan karena kurangnya ikhtiar kreatif yang sesuai dengan kebutuhan masa; Kedua, karena keterlibatan NU di dalam kegiatan politik praktis secara berlebihan, NU menjadi kurang peka menanggapi perkembangan sehingga NU tidak lagi berjalan sesuai dengan hakikatnya sebagai organisasi keagamaan; Ketiga, sudah menjadi tekad NU untuk senantiasa terikat dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara; Keempat, ulama sebagai unsur utama NU menyadari keprihatinan terhadap perkembangan NU dan merasa perlu menegaskan pedoman dan petunjuk bagi perkembangan organisasi.(99) 
Selama menjadi partai politik NU telah mengalami kekaburan identitas; NU sebenarnya adalah organisasi keagamaan tetapi dengan menjadi partai politik maka ia lebih terpaku pada prestasi dan prestise politis ketimbang menanggapi perkembangan di sekitarnya secara keagamaan. Kembali menjadi organisasi keagamaan adalah jalan terbaik bagi NU untuk membenahi kelemahannya selama menjadi partai politik dan untuk menegaskan kembali peranan ulama. 
Khittah 1926 adalah ciri-ciri khas NU sebagai organisasi keagamaan yang dipimpin oleh ulama; melalui peranan ulama, NU berusaha menghimpun umat Islam untuk “melakukan kegiatan-kegiatannya yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat manusia”.(l00) Ciri-ciri khas atau wataknya sebagai organisasi keagamaan itu telah kabur di saat ia menjadi partai politik. 
Maka Khittah 1926 itu dirumuskan oleh Munas 1983 di Situbondo, 
  1. Khittah NU 1926 adalah landasan berfikir, bersikap dan bertingkah-laku warga Nahdlatul Ulama dalam semua tindak dan kegiatan (organisasi) serta dalam setiap pengambilan keputusan. 
  2. Landasan tersebut dapat diambil dengan mengambil intisari dari cita-cita dasar didirikannya NU yakni sebagai wadah pengkhikmatan yang semata-mata dilandasi niat beribadah kepada Allah …
Khittah NU dengan demikian dalam artinya yang nyata merupakan pencerminan dari apa yang dapat dilihat pada niat dan dorongan berdirinya, rumusan ikhtiar yang pernah dilakukan di saat berdirinya serta pada intisari sejarah perjalanan hidupnya dalam pengabdian.  Pemulihan Khittah NU 1926 dengan demikian tidak lain kembali kepada semangat yang dilandasi oleh kekuatan yang mendorong didirikannya jami’ah ini pada tahun 1926 dan tujuan yang hendak dicapainya dengan menyadari sepenuhnya terhadap setiap perubahan yang terjadi pada lingkungan masyarakat di mana NU melakukan khidmatnya.(101)
NU lahir sebagai organisasi keagamaan untuk menegakkan kehidupan keagamaan yang berlandaskan paham ahlusunnah wal jamaah, dan hal itu merupakan juga bukti kepekaannya terhadap perkembangan; ketika kaum pembaharuan melancarkan serangannya terhadap kehidupan keagamaan yang tradisional, NU berdiri sebagai pembela dan membenahi kehidupan keagamaan berdasarkan paham ahlusunnah wal jamaah. Dengan menyatakan diri sebagai pengemban tradisi (ahlusunnah wal jamaah), NU juga pembela kehidupan keagamaan sebagaimana yang telah dihayati oleh umat Islam di Indonesia, yaitu Islam yang telah menyerap berbagai tradisi keagamaan yang telah ada sebelumnya (ingat penerimaan Sufisme). Pengertian khittah dipertegas lagi oleh muktamar bahwa landasan khittah adalah, 
faham ahlusunnah wal jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Khittah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa.(l02) 
Konsekuensi dari Khittah 1926 NU melepaskan ikatannya dengan organissi politik. Dengan perkataan lain NU melepaskan hubungannya dengan PPP. “Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah secara organisatoris tidak terikat lagi dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan mana pun juga.”(l03) Untuk memperkuat hal itu Munas 1983 mengeluarkan “Rekomendasi Larangan Perangkapan Jabatan Pengurus Nahdlatul Ulama dengan Jabatan Pengurus Organisasi Politik.”(l04) Salah satu dasar pertimbangan adalah perangkapan jabatan di samping berakibat “terbaginya perhatian dan kesungguhan” tetapi juga “dapat menghambat usaha penampilan citra dan pelaksanaan kembalinya Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah diniyah Islamiyah.”(105) Sudah tentu larangan ini yang dengan tegas dilaksanakan oleh NU, karena melihat duduknya tokoh NU di dalam PPP telah berakibat dilalaikannya perkembangan NU, bahkan kemelut di dalam PPP secara langsung atau tidak telah menimbulkan pertikaian di antara pimpinan NU sendiri. Pelarangan itu merupakan penjabaran praktis dari Khittah 1926! Tampaknya NU ingin mencegah peranan ulama dijadikan legitimasi semboyan-semboyan politis sesuatu organisasi politik yang akan mengakibatkan kebingungan umat. 
Untuk menjamin aktivitas NU sesuai dengan Khittah 1926 maka Muktamar mempertegas peranan ulama secara organisatoris, karena sebagaimana telah diuraikan di atas (Bab IV) dilihat dari sisi fungsionalnya kemelut dalam tubuh NU berkisar makin kaburnya peranan ulama yang merupakan pusat organisasi. Munas 1983 menggariskan wewenang Syuriah sebagai berikut:
  1. Syuriah sebagai lembaga formal NU yang mencerminkan kepemimpinan ulama, ulama harus dipertegas wewenangnya sebagai pengendali, pemimpin, dan pengelola NU.
  2. Bahwa pengurus NU di semua tingkat adalah pengurus syuriah. 
  3. Pengurus syuriah dipilih oleh musyawarah syuriah.
  4. Pengurus pelaksana (Tanfidziyah) dipilih oleh musyawarah tanfidziyah dengan terlebih dahulu dimintakan persetujuan pengurus syuriah terhadap calon yang diajukan.
  5. Setiap waktu pengurus tanfidziyah dapat diberhentikan oleh syuriah bila dinilai telah melanggar ketentuan organisasi maupun agama.
  6. Pengurus tanfidziyah yang dikenai tindakan tersebut dapat diberi kesempatan membela diri pada permusyawaratan berikutnya.
  7. Syuriah berhak membekukan kepengurusan bila dinilai melanggar ketentuan hukam agama (syar’i) maupun organisasi.(106)
Muktamar menampung aspirasi ini dengan merumuskan di dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) di mana salah satu dari ketentuan berbunyi: 
Pengurus Tanfidziyah sebagai pelaksana tugas sehari-hari mempunyai kewajiban memimpin jalannya organisasi sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh pengurus Syuriah.(107) 
Menarik pula untuk dicatat bahwa NU menghapus istilah ketua umum dan menggantinya dengan sebutan “ketua” saja. NU tidak ingin terjadi penafsiran terhadap AD/ART yang mengaburkan peranan ulama. Dengan membenahi organisasi bertumpu pada peranan Syuriah NU ingin mewujudkan Khittah 1926 secara konsepsional dan operasional.
2. Sikap Kemasyarakatan Nahdlatul Ulama  
Berangkat dari Khittah I926, NU merumuskan sikap kemasyarakatan yang dihayatinya sejak terbentuk dan yang hendak dikembangkan sesuai dengan situasi baru kini yang dihadapinya. 
  1. Sikap tawasuth dan i’tidal (sikap tengah dan lurus) 
Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem).(108) 
Istilah tawasuth terdapat di dalam Sura Al-Baqarah (Sura 2) ayat 143.(109) Dalam ayat ini umat Islam disebut sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan); 
Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu umat yang pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)mu. Dan kami tidak menjadikan kiblat yang engkau menghadap kepadanya (bait maqdis), melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik..(110)
Menurut Yusuf Ali—yang menerjemahkan ummatan wasathan sebagai “ummat justly balanced”—menyatakan bahwa hal itu sesuai dengan hakikat Islam yang selalu menghindari segala yang berlebihan!(11 l)
Sikap pertengahan dipadu dengan sikap lurus atau adil (i’tidal).(112) Sikap lurus atau adil dapat kita baca di dalam Sura 5:8 : “.. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(113) Dengan sikap tengah dan adil, NU mengakui bahwa umat Islam secara keseluruhan adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang majemuk secara keagamaan, karena itulah ia ingin menjalankan peranannya sebagai panutan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Dengan sikap tengah dan adil NU berusaha memelihara atau menjaga diri (taqwa), yaitu menjalankan perintah Allah ditengah-tengah kehidupan bersama. Karena negara dan bangsa sudah diakui sah keberadaannya, maka tugas NU sekarang adalah mengarahkan kehidupan masyarakat agar selalu berada dalam wawasan keagamaan. 
  1. Sikap Tasamuh (Toleran) 
Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah; serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.(114) 
Sikap yang demikian telah dibuktikan oleh NU; sebelum NU berdiri para ulama telah bergabung dengan kelompok pembaharuan dalam Kongres Umat Islam Indonesia.(115) Dan berulangkali NU dapat bergabung dengan kalangan Islam lain sepanjang semua kekuatan memusatkan perhatian kepada tujuan yang sama. 
Dengan sikap tasamuh (toleran) NU dapat menerima dan bekerjasama dengan kalangan Islam lain kendatipun terdapat perbedaan dalam masalah keagamaan. Dengan kata lain sikap tasamuh adalah sikap “lapang dada, yaitu tidak terburu-buru menerima atau menolak saran atau pendapat orang lain.”(116) Lawan dari sikap tasamuh adalah sikap ta’asub yang berarti sikap “mempertahankan pendirian atau keyakinan dengan keras/teguh, tidak dengan dipikirkan secara matang, bahkan tidak bersedia menerima pendapat orang lain.”(117) Sikap yang demikian “dicela dalam Islam karena hanya akan mendatangkan kerugian atas dirinya, orang lain dan tidak menghargai cara-cara musyawarah yang dianjurkan Islam.(118) 
Sejak semula para ulama tidak tertarik membahas masalah yang dipertikaikan oleh umat Islam (khilafiyah) seperti yang dilancarkan oleh kaum pembaharuan. Yang penting bagi para ulama (NU) adalah penghayatan agama ketimbang membahas kebenaran agama itu sendiri. Bagi mereka sepanjang suatu kebiasaan berguna untuk menopang penghayatan, ia dapat diterima dan dikembangkan menjadi tradisi. 
Secara tidak langsung sikap ini membenarkan pengamatan von Grunebaum tentang watak Islam, bahwa sejak awal Islam berkembang di dalam kemampuannya berintegrasi dengan kebudayaan yang ditemuinya; 
Kemantapan Islam …, yaitu mengadakan keseimbangan antara tuntutan tradisi universal dan lokal telah menetralkan akibat-akibat merusak yang timbul…(119) 
Dalam sikap tasamuh ini diutamakan kelestarian masyarakat Islam dan masyarakat secara umum. Diakui adanya perbedaan sikap dan penghayatan dalam agama maupun dalam hidup kemasyarakatan yang tak mungkin dihapuskan begitu saja, karena itulah perlu sikap toleran. Dengan demikian NU mempunyai potensi yang lebih besar mengembangkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. 
  1. Sikap Tawazun (Seimbang) 
Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.(l20) 
Sikap ini menekankan keseimbangan pengabdian manusia terhadap Allah dan sesama manusia. Menurut Anam rujukan sikap tawazun ini adalah Sura 57:25 (Al-Hadiid)(121): “… dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan ..” (bandingkan Sura 42:17) “Apakah keseimbangan (neraca) dalam ayat ini menyatakan pemberian Tuhan kepada manusia agar mampu menimbang mana yang baik dan mana yang jahat.”(122) Jika demikian sikap tawazun adalah sikap yang senantiasa berusaha mencari cara atau jalan yang tepat mewujudkan pengabdian terhadap Allah di dalam masyarakat yang sesuai dengan tuntutan zaman; yaitu bagaimana “menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang”. Dengan kata lain tradisi yang dihayati NU adalah senantiasa menjadi modal utama menentukan sikap yang tepat dalam masa kini dan mendatang! 
d. Amar ma’ruf nahi munkar  Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan berrnanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.(123) 
Ungkapan amar ma’ruf nahi munkar sangat terkenal di kalangan umat Islam yang merupakan ungkapan singkat dari ayat Qur’an yang sering dikutip: “al-amru bi’l-ma’ruf wa’l nahyu ‘ani’l-munkar” yang biasanya diartikan “memerintahkan kepada yang baik, dan melarang apa yang buruk” (lihat Sura 3:104, 110,114; Sura 7:157; Sura 71:112 dan Sura 22:41).(124) 
Apa yang baik bagi “kehidupan bersama” atau yang bertujuan meningkatkan “nilai-nilai kehidupan”, bagi NU adalah tugas keagamaan yang dijalankan dalam sikap tengah dan adil, sikap toleran, dan sikap seimbang. 

D. Program dan Pengembangan 
Dengan diterimanya Pancasila dan NU kembali menjadi organisasi keagamaan, maka mulailah era baru dalam kiprah umat Islam umumnya dan NU khususnya. Segala potensi NU kini diarahkan kepada pengembangan organisasi dalam wawasan keagamaan di dalam suasana modernisasi sesuai dengan derap pembangunan yang terus-menerus digalakkan oleh pemerintah. NU menyadari selama ia menjadi organisasi politik pengembangan kehidupan keagamaan dalam arti yang seluas-luasnya telah diabaikan. Untuk itu Muktamar 1984 menyusun program yang dipusatkan pada upaya memacu perkembangan masyarakat yang meliputi bidang-bidang: 
  1. Syuriah 
  2. Pendidikan (Ma’arif) 
  3. Da’wah dan Penerbitan 
  4. Sosial (Mabarrat) 
  5. Perekonomian 
  6. Pertanian dan Nelayan 
  7. Tenaga Kerja 
  8. Kebudayaan 
  9. Kewanitaan 
  10. Kepemudaan 
  11. Kaderisasi 
  12. Organisasi dan 
  13. Pembentukan Kepribadian.(125) 
Segera terpampang dalam program NU ini tekanan pada peranan syuriah karena dalam lembaga inilah para ulama dapat sepenuhnya mengendalikan gerak langkah NU untuk “mencegah dan menolak segala penyimpangan yang pernah, sedang dan mungkin terjadi…”(126) Dalam program itu pula ditegaskan watak kultural yang hendak dimantapkan melalui bidang pendidikan yaitu dengan “pengenalan warisan kultur keagamaan di kalangan Ahlusunnah wal jamaah . . . dengan menanamkan rasa cinta akan jasa Wali Songo.”(127) NU ingin menegaskan watak dan penghayatan keagamaan yang erat dengan keberadaan dan keterikatannya dengan  Indonesia. Bahwa Islam yang dihayati dan dikembangkan oleh NU berciri khas Indonesia! Nurcholish Madjid menegaskan bahwa Islam di Indonesia harus dipahami dalam ciri khasnya sebagai pengaruh budaya Indonesia; 
“Banyakuya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dan unsur-unsur budaya lokal itu membuat Islam di Indonesia, lebih daripada Islam di tempat-tempat lain, sering dianggap sebagai “pinggiran” . . . maka Islam di Indonesia sering dipandang “tidak” atau sekurang-kurangnya “belum” bersifat Islam secara sebenarnya, . . . Kebanyakan kajian tentang Indonesia oleh para ahli Barat . . . cenderung menganggap tidak begitu penting unsur keislaman dalam budaya Indonesia. Hal ini tentu saja menyesatkan…” (128) 
Ia bermaksud mengajak kita melihat perkembangan Islam di Indonesia terutama akibat pengaruh sufisme telah menyebabkan terjadinya saling mempengaruhi antara kebudayaan dan Islam; dan ini penting diperhatikan bagi pengembangan Islam di masa depan di Indonesia.(129) 
Program pengembangan NU dijalankan berlandaskan empat asas, yaitu asas kepeloporan, asas kesinambungan, asas penyesuaian dengan tuntutan zaman, dan asas kemandirian.(l30) 
1. Asas Kepeloporan 
Dengan ini ditekankan bahwa program pengembangan selalu dijalankan dengan mengingat keteladanan yang telah dinyatakan oleh NU sejak terbentuk agar NU di masa depan “kembali menjadi pergerakan yang mampu jadi panutan.” 
2. Asas Kesinambungan 
Dengan asas ini NU hendak menyatakan kesinambungannya dengan sejarah berdirinya NU sebagai organisasi keagamaan. Prinsip NU adalah selalu mempertahankan hal-hal yang baik dari yang lama sambil memilih hal-hal baru yang lebih baik untuk menyatakan rasa memiliki terhadap bangsa dan negara. 
3. Asas Penyesuaian dengan Tuntutan Zaman 
NU bukanlah organisasi yang kaku dan tidak dapat berubah. Dengan asas ini NU mengembangkan diri sambil menafsirkan kembali kegiatannya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan sekarang dan untuk masa depan. 
4. Asas Kemandirian 
Dengan asas ini NU selalu berusaha mendewasakan diri dalam usaha-usaha nyata. Sebagai organisasi yang mengakar ke bawah (umat) asas ini harus dipertahankan dan dikembangkan. 
Penerimaan NU atas Pancasila benar-benar suatu penerimaan yang penuh kesadaran; di samping Pancasila dinilai sah secara theologis Islam dan bahwa kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan adalah sesuai dengan hakikatnya, NU memperkuat komitmennya terhadap bangsa dan negara karena dengan demikianlah ia sekaligus menegaskan kehadirannya sebagai bagian dari bangsa yang sedang membangun. 
“Muktamar rnenyadari bahwa Nahdlatul Ulama tengah berada pada titik-titik perjalanan yang menentukan, tidak hanya pada dirinya saja, melainkan juga bagi bangsa dan negara. Pembangunan nasional telah menginjak tahap yang memiliki jangkauan sangat jauh ke masa depan bangsa, karena dalam masa beberapa tahun inilah diletakkan dengan kokoh sendi-sendi yang memungkinkan terciptanya landasan bagi tahap lepas landas pembangunan itu sendiri … “ 
“Bahwa perkembangan masyarakat, baik dalam lingkup bangsa maupun dalam lingkup lebih kecil, tengah mengalami perpindahan dari pola tradisional menuju kepada pola kehidupan moderen … Muktamar dengan penuh keprihatinan telah melakukan tilikan mendalam atas masalah pergeseran nilai dan sikap ini, terutama dengan menggunakan kaidah fiqh yang telah berusia ratusan tahun, yaitu al-akhdzu bil jadidil aslah wal muhafadzatu  ‘alal qadimis salih (mengambil yang baru yang lebih berguna; dan tetap berpegang pada nilai lama yang masih relevan).”(13l) 
Penetapan asas Pancasila dan perkembangan yang sedang ditempah bangsa dan negara, telah ditanggapi dengan serius. Kembali menjadi organisasi keagamaan membuat NU makin jeli melihat tantangan-tantangan bagi bangsa secara umum dan bagi NU secara khusus. Langsung atau tidak langsung tantangan yang dihadapi bangsa adalah tantangan yang juga dihadapi NU karena itu tidak ada jalan lain kecuali menghadapinya secara bersama-sama pula! 
Dengan berbekal paham ahlusunnah wal jama’ah dan sejarahnya sebagai organisasi keagamaan serta keterlibatannya dalam kehidupan bangsa, menjadikan NU mampu dengan cepat dan terbuka menanggapi tantangan yang ada di hadapannya. 
NU tidak perlu menciptakan theologia baru agar dapat menerima suatu perkembangan; dengan menafsirkan ulang tradisi yang dianutnya, tradisi panjang dan berliku, NU telah berhasil menyusun sistematika penerimaannya atas Pancasila. 
Kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan bukan saja sesuai dengan perkembangan politik bangsa tetapi juga sejalan dengan upaya yang harus dilakukan oleh NU, membina kehidupan keagamaan umat Islam. Dengan kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan maka ulama dapat mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk pengembangan umat, dan serentak dengan itu ia mengupayakan pengembangan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembangunan bangsa untuk memenuhi panggilan amar ma’ruf nahi munkar. Melalui program yang dipersiapkan secara matang dan mencakup bidang yang luas, NU benar-benar mengalihkan orientasi, dari politik kepada keagamaan, dari status politis kepada pembinaan umat, dan dari prestise politis kepada prestasi keagamaan dalam masyarakat. Hal itu dapat terjadi karena penerimaan NU atas Pancacila bukan melulu keputusan politis, melainkan juga penilaian keagamaan. Karena Pancasila sudah dinilai sah penerimaannya secara keagamaan, maka NU dapat mengembangkan dirinya dalam kepekaan terhadap perubahan dan dalam komitmen terhadap bangsa dan negara yang sedang membangun. 
Dengan sikap tengah dan lurus, toleran dan seimbang, yang dijabarkan dari doktrinnya yang tradisional (ahlusunnah wal jamaah) dan pemahamannya atas sejarah bangsa, maka harapan NU agar kembali menjadi panutan perkembangan umat rasanya bukanlah harapan yang berlebih-lebihan. 

Kesimpulan
 
Sebagaimana telah dikatakan pada bagian pendahuluan bahwa dasar negara telah menjadi pokok masalah sejak sebelum kemerdekaan dan juga setelah kemerdekaan antara golongan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler (nasionalis netral agama).(1) Penerimaan NU atas Pancasila merupakan puncak sikap fleksibel, adaptif dan positif NU dalam menanggapi perkembangan politik. Apa yang menjadi pokok masalah telah diselesaikan oleh NU dengan menerima Pancasila. Penerimaan NU atas Pancasila bukanlah akibat tekanan eksternal dan bukan penerimaan yang terpaksa, tetapi penerimaan yang positif karena Pancasila telah dinilai sah berlandaskan theologi Islam dan berlandaskan dalil-dalil atau pendapat tradisional Islam. Di sinilah keunggulan golongan tradisional, NU memiliki kekayaan rujukan untuk menanggapi sesuatu perkembangan dan tidak mudah jatuh kepada sikap mutlak-mutlakan. Jadi sebenarnya yang paling menarik mengenai isu Pancasila sebagai satu-satunya asas, bukanlah pada penerimaan Pancasila itu sendiri melainkan pada argumen-argumen tradisional yang diketengahkannya dalam menanggapi Pancasila sebagai asas dan berbagai perkembangan lainnya. Yang diutamakan NU dalam menanggapi setiap perkembangan bukanlah sikap ideologi Islam tetapi sikap keagamaan tradisional.
Modal utama bagi NU menanggapi berbagai perkembangan adalah paham ahlusunnah wal jamaah.(2) Sebagaimana dirumuskan dalam Bab II bahwa pengertian ahlusunnah wal jamaah bagi NU adalah pengakuan terhadap tradisi Islam dalam konteks Indonesia yaitu bagaimana Islam masuk ke Indonesia dalam tradisi mazhab dan sufisme.(3) Penerimaan atas sufisme membuat NU menerima kehadiran tradisi lokal yang hidup dalam masyarakat Indonesia sepanjang berguna untuk meningkatkan penghayatan agama. Dengan demikian apa yang dilukiskan oleh Madjid sebagai sifat keindonesiaan(4) dalam perkembangan Islam di Indonesia secara potensial sudah sejak semula merupakan milik NU! Bahkan NU adalah pelopor mengembangkan keindonesiaan Islam itu! Paham ahlusunnah wal jamaah dikembangkan untuk menemukan sikap-sikap keagamaan yang tepat di dalam situasi tertentu; di sinilah pentingnya penatsiran fiqh, namun bukan melulu penafsiran fiqh tetapi penafsiran fiqh secara mistik (seperti yang dikembangkan oleh al-Ghazali) di dalam hal NU membentuk sikap keagamaannya.(5) Itulah sebabnya NU tidak memerlukan ideologi politik dan justru dengan pendekatan atau penafsiran fiqh secara mistik membuat NU mampu merumuskan sikap yang positif dan integratif di dalam perjuangan dan kehidupan bangsa. Dengan pendekatan mistik itu, NU mampu melihat sesuatu perkembangan dengan lebih jeli — tidak sekedar menilai dalam polarisasi islami dan tidak islami — tetapi menilai secara lebih bervariasi sehingga dapat menjadikan sesuatu perkembangan sepanjang tidak bertentangan dengan Islam sebagai jalan untuk mengembangkan kehidupan keagamaan.
Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh, NU mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara moderen, walaupun banyak aspek kenegaraan pandangan serba fiqh itu juga sering merupakan “hambatan” bagi pemegang pemerintahan untuk melaksanakan wewenangnya. Yang jelas pandangan seperti itu — bagaimanapun juga — akan berbenturan dengan pandangan yang memperlakukan Islam sebagai ideologi kemasyarakatan, apalagi ideologi politik. Upaya menampilkan Islam sebagai “jalan hidup alternatif” yang membentuk sistem kemasyarakatan baru di luar yang telah ada, jelas sulit diterima oleh para ulama NU. . . .(6)
NU adalah organisasi keagamaan (jamiah diniyah) dengan ulama sebagai motor penggeraknya. Peranannya sebagai organisasi keagamaan telah dijalankan dengan menyatakan sikap-sikap keagamaan di dalam perkembangan kehidupan bangsa, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Ciri-ciri penampilannya adalah sikap yang fleksibel, adaptif dan positif. Bagi orang yang kurang memahami NU dengan mudah akan mencapnya sebagai opportunistik. Sebagai organisasi keagamaan NU tidak mempunyai target-target politis tertentu untuk diperjuangkan; yang diutamakannya adalah penghayatan dan pengembangan agama. Karena itu ia tidak tampil secara agresif melainkan tampil secara responsif; sebagaimana peranan ulama di dalam kehidupan umat memberi bimbingan keagamaan demikian pula NU sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah) melalui sikap-sikap keagamaan yang telah dinampakkannya dalam berbagai perkembangan, NU memberi bimbingan keagamaan. Walaupun NU telah menjadi partai politik pada tahun 1952, NU tetap mempertahankan ciri-ciri organisasi keagamaan dalam menanggapi perkembangan politik, tetapi ciri-ciri itu makin kabur setelah NU bergabung di dalam PPP. Setelah bergabung di dalam PPP, NU larut ke dalam sikap ideologis dan tidak lagi mengembangkan sikap keagamaan; kalau pun masih terdengar argumen keagamaan, namun hal itu cenderung diambil sebagai legitimasi sikap ideologis. Kekaburan ciri-ciri keagamaan itu terjadi serentak dengan makin mundurnya peranan ulama dalam kiprah organisasi! Oleh karena itu keputusan NU untuk kembali menjadi organisasi keagamaan, kembali kepada Khittah (Semangat) 1926 adalah langkah yang sangat tepat, sebab hanya dengan demikianlah NU dapat kembali menjalankan peranannya sebagai organisasi ulama yang hakikatnya membimbing kehidupan umat. Baik di dalam Masyumi maupun di dalam PPP, NU tidak dapat menjalankan peranan keulamaannya secara utuh. Dengan kembalinya menjadi organisasi keagamaan NU dapat mencurahkan segala kemampuannya membina umat menghadapi modernisasi dalam masa pembangunan kini.
Dengan kembali menjadi organisasi keagamaan, NU memasuki babak baru; aspirasi Islam tidak lagi diperjuangkan melalui wadah politik formal, tetapi melalui proses transformasi kultural sebagai bagian inherent dari bangsa Indonesia secara keseluruhan.(7) “Tujuan NU,” demikian Abdurrahman Wahid, “adalah transformasi sosial secara lebih paripurna dan lebih mendasar . . .”(8) Sambil mengamati bahwa sejak awal NU mengembangkan diri dengan kearifan terhadap sistem budaya Indonesia, maka memperjuangkan aspirasi Islam secara kultural merupakan upaya kembali kepada ciri-ciri khas NU.(9) Pergumulan NU khususnya dan umat Islam di Indonesia pada umumnya terhadap Pancasila sebagai isu nasional, merupakan pergumulan khas umat Islam di Indonesia yang tidak dapat diukur atau dinilai berdasarkan perkembangan yang dialami umat Islam di negara-negara lain. Sebab cara-cara umat Islam memecahkan masalah yang dihadapinya berbeda dari satu negara ke negara lainnya.(10) Menerima Pancasila adalah bagian dari tanggung jawab umat Islam Indonesia, khususnya NU terhadap perkembangan kehidupan bangsa.
Sebuah perjalanan panjang dan berliku telah ditempuh oleh NU dengan mulus; terbuktilah bahwa semua organisasi keagamaan tradisional semacam NU mampu mengatasi tantangannya asalkan ia bersedia menyimak nuansa-nuansa tradisinya. Bagaimana perjalanan NU selanjutnya setelah menerima Pancasila sebagai asas dan kembali menjadi organisasi keagamaan (jamiyah diniyah) sejarahlah yang akan mencatatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar