Sabtu, 12 Mei 2012

Seri Kontra Wahabi (4): Otoritas Ulama

Sumber Liberalisme
Pada tahun 2009, saya terlibat perdebatan sengit di Surabaya dengan seorang tokoh Salafi dari Malang, berinisial AH. Di bagian awal buku yang dipromosikannya pada waktu itu, ia menulis, bahwa madzhab al-Asy’ari merupakan sumber pemikiran liberal. Saya merasa heran dengan asumsi murahan AH yang mengatakan bahwa pemikiran liberal sumbernya dari madzhab al-Asy’ari. Logika dan paradigma apa yang dijadikan barometer untuk menilai madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal.
Seandainya ada seseorang berpendapat bahwa ajaran Islam itu sumber kejahatan pencurian dan perzinahan, karena ia melihat dalam kitab-kitab tafsir ada beberapa ayat yang turun berkaitan dengan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang mencuri dan berzina, apakah AH akan menerima logika berpikir seperti ini? Tentu saja dia tidak akan menerima.

Seandainya AH berkomunikasi terlebih dahulu dengan ulama-ulama Wahhabi yang menjadi gurunya di Saudi Arabia, mungkin ia tidak akan menulis tuduhan keji seperti itu. Karena para ulama Wahhabi sendiri mengakui, bahwa mayoritas ulama dari berbagai bidang, seperti ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli sejarah, gramatika dan lain-lain mengikuti madzhab al-Asy’ari.
AH sepertinya tidak pernah membaca sejarah bahwa para ulama yang berhasil membabat habis kelompok Mu’tazilah sampai punah pada akhir abad keenam Hijriah adalah para ulama pengikut madzhab al-Asy’ari. Dalam sejarah pemikiran Islam, Mu’tazilah merupakan aliran yang dikenal paling tangguh dan hebat dalam arena dialog dan perdebatan. Mu’tazilah juga dikenal sebagai aliran yang mendahulukan akal daripada nash (teks) al-Qur’an dan Sunnah. Di tangan Mu’tazilah, teks-teks al-Qur’an dan hadits menjadi berkurang nilai sakralitasnya karena harus dikoreksi terlebih dahulu dengan perisai rasio dan nalar. AH juga sepertinya tidak tahu sejarah, bahwa ilmu filsafat yang dianggap sebagai sumber pemikiran liberal dalam Islam, menjadi terkapar untuk selama-lamanya dari ranah intelektual kaum Muslimin setelah dibabat habis oleh Hujjatul Islam al-Ghazali dengan kitabnya Tahafut al-Falasifah. Dari sini layakkah AH menuduh madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal? Bukankah lebih layak kalau dikatakan bahwa liberalisme sumbernya dari Wahhabi.
Sebagaimana dimaklumi, di antara ciri khas liberalisme, adalah upaya desakralisasi otoritas ulama. Ketika pendapat dan hasil ijtihad ulama diajukan kepada kaum liberal, maka dengan serta merta mereka akan menolaknya dengan alasan para ulama juga manusia biasa seperti halnya mereka. Kaum Wahhabi juga demikian, ketika pendapat dan hasil ijtihad ulama diajukan kepada mereka, maka sudah barang tentu mereka akan menolaknya, dengan bahasa yang terkadang lebih halus, “kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Bahasa yang mengesankan bahwa hasil ijtihad ulama tidak mengikuti al-Qur’an dan Sunnah.
Memang tidak aneh kalau orang Wahhabi seperti AH menuduh madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal. Bukankah pendiri aliran Wahhabi sendiri, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi telah mengatakan bahwa kitab-kitab fiqih merupakan sumber ajaran syirik. Dalam kitab al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah (kumpulan fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, sang pendiri aliran Wahhabi), yang dihimpun oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Najdi al-Wahhabi, juz 3 hal. 59, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengeluarkan statemen yang cukup ekstrem bahwa ilmu fiqih merupakan sumber kesyirikan. Sedangkan para ulama fuqaha yang menulis kitab-kitab fiqih, ia samakan dengan syetan-syetan manusia dan jin. Astaghfirullah.

Tidak Perlu Mengikuti Ulama
Kejadian itu agak mirip dengan kejadian berikutnya. Suatu ketika, saya mengisi pengajian di daerah Kesiman Denpasar Timur Bali. Setelah saya memaparkan tentang dalil-dalil bid’ah hasanah dari al-Qur’an dan hadits, lalu saya mengutip pendapat para ulama sejak Khulafaur Rasyidin yang mengakui dan mengamalkan bid’ah hasanah, tiba-tiba seorang Wahhabi angkat bicara dengan nada emosi. Ia berkata begini: “Kita tidak perlu mengikuti imam ini maupun imam itu. Kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah saja, titik. Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak ada orang yang perlu kita ikuti.” Demikian perkataan orang Wahhabi tersebut dengan suara berapi-api dan nada suara tinggi.
Orang Wahhabi ini sepertinya tidak tahu, bahwa yang memberikan otoritas kepada ulama agar diikuti oleh umat Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Ketika kita mengikuti ulama, itu bukan berarti kita meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi kita justru mengikuti al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama yang lebih mengerti dari pada kita. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Qur’an al-Karim:
فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ. (النحل : ٤٣).
 “Bertanyalah kamu kepada para ulama apabila kamu tidak tahu.” (QS. al-Nahl: 43 dan al-Anbiya’: 7).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an memerintahkan kita agar bertanya kepada para ulama ketika kita tidak tahu. Al-Qur’an tidak memerintahkan kita membuka-buka lembaran-lembaran al-Qur’an dan kitab-kitab hadits ketika kita tidak tahu. Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولىِ اْلأَمْرِ مِنْكُمْ. (النساء : ٥٩).
 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil-Amri di antara kamu.” (QS. al-Nisa’ : 59).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an menuntun kita agar mengikuti Ulil Amri. Yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat tersebut adalah para ulama yang mendalam ilmunya. Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
عَنْ زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ رضي الله عنه قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ  لَيْسَ بِفَقِيهٍ  وَفِي  رواية  فَرُبَّ  مُبَلَّغٍ  أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ. رواه الترمذي (٢٥٨٠)، وأبو داود (٣١٧٥)، وابن ماجه (٢٢٦)، وغيرهم.
 “Semoga Allah membuat elok pada orang yang mendengar sabdaku, lalu ia mengingatnya, kemudian menyampaikannya seperti yang pernah didengarnya. Karena tidak sedikit orang yang menyampaikan suatu hadits dariku tidak dapat memahaminya.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Tidak sedikit orang yang memperoleh suatu hadits dari seseorang lebih memahami daripada orang yang mendengar hadits itu secara langsung dariku.” (HR. al-Tirmidzi (2580, 2581 dan 2583), Abu Dawud (3175); Ibn Majah (226) dan lain-lain).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa di antara sahabat Rasul shallallahu alaihi wasallam yang mendengar hadits dari beliau secara langsung, ada yang kurang memahami terhadap makna-makna yang dikandung oleh hadits tersebut. Namun kemudian ia menyampaikan hadits itu kepada murid-muridnya yang terkadang lebih memahami terhadap kandungan maknanya. Pemahaman lebih, terhadap kandungan hadits tersebut menyangkut penggalian hukum-hukum dan masalah-masalah yang nantinya disebut dengan proses istinbath atau ijtihad. Dari sini dapat dipahami, bahwa di antara sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam ada yang kurang mengerti terhadap maksud suatu hadits daripada murid-murid mereka. Dan murid-murid mereka yang memiliki pemahaman lebih terhadap hadits tadi disebut dengan mujtahid. Mujtahid inilah yang menjadi fokus pembicaraan dalam hadits shahih berikut ini:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. رواه البخاري (٦٨٠٥).
 “Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya keliru, maka ia memperoleh satu pahala.” (Al-Bukhari [6805]).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak semua sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang memiliki penguasaan mendalam terhadap susunan bahasa Arab mampu mengeluarkan fatwa. Dan kesimpulan ini akan semakin kelihatan dengan jelas, apabila kita perhatikan kitab-kitab mushthalah al-hadits yang disusun oleh para hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang studi ilmu hadits), di sana akan kita dapati bahwa para mufti dari kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak sampai sepuluh orang. Ada yang mengatakan hanya enam orang. Tetapi sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa sekitar dua ratus orang sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang telah mencapai derajat mujtahid.

Dialog Syaikh Al-Buthi dan Syaikh Al-Albani
Ada sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania. Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?” Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?” Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?” Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.” Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?” Al-Albani menjawab: “Ya.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?” al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.” Syaikh al-Buthi bertanya; “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?” al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?” Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-nya siapa di antara qira’ah yang tujuh?” Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.” Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?” Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara mutawatir.” Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab al-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam al-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?” Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?” Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.” Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.” Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid al-Syari’at al-Islamiyyah. Dialog tersebut menggambarkan, bahwa kaum Wahhabi melarang umat Islam mengikuti madzhab tertentu dalam bidang fiqih. Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya licik mereka agar umat Islam mengikuti madzhab yang mereka buat sendiri. Tentu saja mengikuti madzhab para ulama salaf, lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang sesudah mereka.

Hadits Ikhtilaf Ummati Rahmatun
Dalam tradisi bermadzhab, perbedaan pendapat merupakan sebuah keniscayaan dan termasuk khazanah kekayaan fiqih kaum Muslimin. Dewasa ini, seiring dengan merebaknya aliran Wahhabi, yang cenderung memaksakan pendapatnya kepada orang lain agar diikuti, disebarluaskan wacana bahwa mengikuti madzhab fiqih yang ada merupakan salah satu bentuk kesyirikan dan dilarang dalam agama. Demikian asumsi mereka.
Dalam sebuah diskusi di Mushalla al-Fitrah, Monang Maning Denpasar, ada seorang Wahhabi melakukan protes dengan berkata: “Ustadz, kita tidak perlu mengikuti ulama atau para imam madzhab. Bukankah para imam madzhab itu pendapatnya berbeda-beda. Ustadz harus mengetahui bahwa hadits ikhtilafu ummati rahmatun (perbedaan umat Islam itu merupakan rahmat Allah) itu hadits mursal yang kualitasnya lemah atau dha’if”. Demikian pernyataan orang Wahhabi tadi yang belakangan diketahui berinisial HA.
Pada waktu itu saya menjawab: “Memang hadits ikhtilafu ummati rahmatun, termasuk hadits dha’if. Akan tetapi substansinya terdapat dalam hadits-hadits yang shahih. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Ibn Umar radhiyallahu ‘anhu yang berkata: “Sepulangnya dari peperangan Ahzab, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. رواه البخاري (٨٩٤).
 “Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”  (HR. al-Bukhari [894]).
Sebagian sahabat ada yang memahami teks hadits tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar–walaupun waktunya telah berlalu– kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam menerima laporan tentang kasus ini, beliau tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang berbeda pendapat dalam memahami teks hadits beliau.” (HR. al-Bukhari [894]). Berkaitan dengan hal tersebut Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
جَلَدَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعِينَ، وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ، وَعُمَرُ ثَمَانِينَ، وَكُلٌّ سُنَّةٌ، وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ . رواه مسلم (٣٢٢٠) وأبو داود (٣٣٨٤).
 “Nabi mendera orang yang minum khamr sebanyak empat puluh kali. Abu Bakar mendera empat puluh kali pula. Sedangkan Umar menderanya delapan puluh kali. Dan kesemuanya adalah sunnah. Akan tetapi, empat puluh kali lebih aku sukai.” (HR. Muslim (3220) dan Abi Dawud (3384).
Dalam hadits ini, Ali bin Abi Thalib menetapkan bahwa dera empat puluh kali yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar, sedang dera delapan puluh kali yang dilakukan oleh Umar kepada orang yang minum khamr, keduanya sama-sama benar. Hadits ini menjadi bukti bahwa perbedaan pendapat di antara sesama mujtahid dalam bidang fiqih, tidak tercela, bahkan eksistensinya diakui berdasarkan hadits tersebut. Seorang ulama salaf dari generasi tabi’in, al-Imam al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq berkata:
كَانَ اخْتِلاَفُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم رَحْمَةً لِلنَّاسِ.
 “Perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam merupakan rahmat bagi manusia.” (Jazil al-Mawahib, 21).
Khalifah yang shaleh, Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu juga berkata:
مَا سَرَّنِيْ لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَخْتَلِفُوْا لأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ.
 “Aku tidak gembira seandainya para sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak berbeda pendapat. Karena seandainya mereka tidak berbeda pendapat, tentu tidak ada kemurahan dalam agama.” (Jazil al-Mawahib, 22).
Paparan di atas menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan sahabat telah terjadi sejak masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan ternyata perbedaan tersebut dilegitimasi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menjadi rahmat bagi umat Islam sebagaimana diakui oleh ulama salaf yang saleh. Wallahu a’lam.”

==
Dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi”
karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar