Dialog Publik di Masjidil Haram
Syaikh Muhammad
bin Shalih al-‘Utsaimin–ulama Wahhabi kontemporer di Saudi Arabia yang
sangat populer dan kharismatik-, mempunyai seorang guru yang sangat alim
dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin
Nashir al-Sa’di. Ia dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di.
Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah
karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam
al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti paradigma
pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di kalangan Wahhabi menyamai kedudukan
Tafsir al-Jalalain di kalangan kaum Sunni.
Syaikh Ibnu Sa’di
dikenal sebagai ulama Wahhabi yang ekstrem. Namun demikian, terkadang ia
mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu
datangnya.
Suatu ketika, al-Imam
al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda al-Sayyid
Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjidil
Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya. Di bagian lain
serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk
bersama anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil Haram sedang
larut dalam ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada saat
itu, langit di atas Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang
menggelantung. Sepertinya sebentar lagi hujan lebat akan segera
mengguyur tanah suci umat Islam itu.
Tiba-tiba air hujan
itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah
mengalirkan air hujan itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari
saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu,
orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju
saluran itu dan mengambil air tersebut. Air itu mereka tuangkan ke baju
dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.
Melihat kejadian
tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian
besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan
mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur
kesyirikan dan menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan ngalap
barokah dari air itu. Akhirnya para polisi pamong praja itu menghampiri
kerumunan orang-orang Hijaz dan berkata kepada mereka yang sedang
mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu,
“Hai orang-orang musyrik, jangan lakukan itu. Itu perbuatan syirik. Itu
perbuatan syirik. Hentikan!” Demikian teguran keras para polisi pamong
praja kerajaan Wahhabi itu.
Mendengar teguran para
polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera membubarkan
diri dan pergi menuju Sayyid ‘Alwi yang sedang mengajar murid-muridnya
di halaqah tempat beliau mengajar secara rutin. Kepada beliau, mereka
menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir
dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan
bahkan mendorong mereka untuk terus melakukannya.
Menerima fatwa Sayyid
‘Alwi yang melegitimasi perbuatan mereka, akhirnya untuk yang kedua
kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air
di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh
darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut. Bahkan
ketika para polisi Baduwi itu menegur mereka untuk yang kedua kalinya,
orang-orang Hijaz itu menjawab, “Kami tidak peduli teguran Anda, setelah
Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah
dari air ini.”
Akhirnya, melihat
orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi Baduwi itu
pun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka
mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan
itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi
Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera
mengambil selendangnya dan bangkit berjalan menghampiri halaqah Sayyid
‘Alwi. Kemudian dengan perlahan Syaikh Ibn Sa’di itu duduk di sebelah
Sayyid ‘Alwi. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul
mengelilingi kedua ulama besar itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang
akan dibicarakan oleh dua ulama besar itu.
Dengan penuh sopan santun dan etika layaknya seorang ulama besar, Syaikh Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid
‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu
bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka’bah itu ada
berkahnya?”
Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di, Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di terkejut dan berkata: “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَاركَاً. (ق : ٩).
“Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 : 9).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا. (آل عمران : ٩٦).
“Sesungguhnya
rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang
ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 : 96).
Dengan demikian air
hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki dua
berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat
pada Baitullah ini.”
Mendengar jawaban
tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi.
Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di itu melontarkan
perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan
Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai
dari kedua ayat ini.”
Kemudian Syaikh Ibnu
Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan meminta izin
untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada
Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat
para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum
Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran
air di Ka’bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti
mengkafirkan dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka
melihat orang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang
bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di
situ di depan para polisi Baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti
mensyirikkan orang lain.”
Akhirnya mendengar
saran Sayyid ‘Alwi, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit menuju saluran air
di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air
itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya. Melihat
tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi Baduwi itu pun akhirnya
pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.
Kisah ini disebutkan
oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan
sanad-sanad keilmuannya). Beliau murid Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan
termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.
Syaikh Ibn Sa’di
sebenarnya seorang yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang tafsir.
Apabila berbicara tafsir, ia mampu menguraikan makna dan maksud ayat
al-Qur’an dari berbagai aspeknya di luar kepala dengan bahasa yang
sangat bagus dan mudah dimengerti. Akan tetapi sayang, ideologi Wahhabi
yang diikutinya berpengaruh terhadap paradigma pemikiran beliau. Aroma
Wahhabi sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya.
Ngalap Berkah
Berkah (barokah)
diartikan dengan tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan
tabarruk bermakna mencari tambahnya kebaikan atau ngalap barokah (thalab
ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan.
Masyarakat kita
seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan
tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم: ((اَلْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ)). رواه ابن حبان
(١٩١٢) وأبو نعيم في “الحلية” (٨/١٧٢) و الحاكم في “المستدرك” (١/٦٢) و
الضياء في “المختارة” (٦٤/٣٥/٢) و قال الحاكم : “صحيح على شرط البخاري” . و
وافقه الذهبي.
“Dari Ibn Abbas
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban
(1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak
(1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata,
hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi
menyetujuinya.)
Al-Imam al-Munawi
menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita
mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan
memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam
artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti
orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang
yang lebih tua.
Dalam sebuah diskusi
di Masjid At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta yang bertanya, “Bagaimana
Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke makam para wali
dengan tujuan mencari berkah?”
Di antara amal yang
dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah
ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan
dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan
tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud
tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala
dengan cara berziarah ke makam para wali.
Orang yang berziarah
ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat
mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya
dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali
dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil,
baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa
sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan
maksud hadits:
أَنَّ مُوْسَى u قَالَ:
رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ اْلأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ
وَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ
عِنْدَهُ لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ
الْكَثِيْبِ الْأَحْمَرِ)).
“Sesungguhnya Nabi
Musa u berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu
lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian
letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”
Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:
وَفِيْهِ
اسْتِحْبَابُ مَعْرِفَةِ قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ لِزِيَارَتِهَا
وَالْقِيَامِ بِحَقِّهَا، وَقَدْ ذَكَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم
لِقَبْرِ السَّيِّدِ مُوْسَى u عَلاَمَةً
هِيَ مَوْجُوْدَةٌ فِيْ قَبْرٍ مَشْهُوْرٍ عِنْدَ النَّاسِ اْلآَنَ
بِأَنَّهُ قَبْرُهُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمَوْضِعَ الْمَذْكُوْرَ هُوَ
الَّذِيْ أَشَارَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ.
“Hadits
tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk
dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah
menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu pada makam yang sekarang
dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut
adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
(Tharh al-Tatsrib, [3/303]).
Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ (٧/٤٦). وَفِيْ
رِوَايَةٍ « فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ الْقُبُوْرَ فَلْيَزُرْ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُنَا اْلآَخِرَةَ».
“Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dulu aku melarang kamu ziarah
kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat,
“Barangsiapa yang henda ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut
dapat mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh al-Shalihin [bab 66]).
Di sini mungkin ada
yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur
dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu
punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala
dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu
meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih
hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan
datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu
kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «اَلاَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ» رواه البيهقي.
“Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam
kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat
al-Anbiya’, [1]).
Sebagai penegasan
bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat
mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم قَالَ: «حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ
وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ فَإِذَا أَنَا مِتُّ عُرِضَتْ عَلَيَّ
أَعْمَالُكُمْ فَإِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ وَإِنْ رَأَيْتُ
غَيْرَ ذَلِكَ اِسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ » رَوَاهُ الْبَزَّارُ.
“Dari Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku
dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila
aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku
melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku
melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.”
(HR. al-Bazzar, [1925]).
Karena keyakinan bahwa
para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak
generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa
sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu
masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan
bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah
berikut ini:
وَلاَ
يَدْخُلُ فِيْ هَذَا الْبَابِ (أَيْ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ عِنْدَ
السَّلَفِ) مَا يُرْوَى مِنْ أَنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلاَمِ
مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَوْ قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ
الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ بْنِ الْمُسَيَّبِ كَانَ
يَسْمَعُاْلأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ الْحَرَّةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ
فَهَذَا كُلُّهُ حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ وَاْلأَمْرُأَجَلُّ
مِنْ ذَلِكَ وَأَعْظَمُ وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَا يُرْوَى أَنَّ رَجُلاً
جَاءَ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَشَكَا إِلَيْهِ
الْجَدَبَ عَامَ الرَّمَادَةِ فَرَآهُ وَهُوَ يَأْمُرُهُ أَنْ يَأْتِيَ
عُمَرَ فَيَأْمُرَهُأَنْ يَخْرُجَ فَيَسْتَسْقِي النَّاسُ فَإِنَّ هَذَا
لَيْسَ مِنْ هَذَا الْبَابِ وَمِثْلُ هَذَا يَقَعُ كَثِيْرًا لِمَنْهُوَ
دُوْنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَعْرِفُ مِنْ هَذِهِ الْوَقَائِعِ
كَثِيْرًا. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم ١/٣٧٣).
“Tidak
masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa
yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam
Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga
Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi
wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini
semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar
dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk
kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang
ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim
kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut
bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk
mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan
masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak
sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui
peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’
al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).
Kisah laki-laki yang
datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah
dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid
terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah.
Beliau berkata:
وَقَالَ
الْحَافِظُ اَبُوْ بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ اَخْبَرَنَا اَبُوْ نَصْرٍ بْنُ
قَتَادَةَ وَاَبُوْ بَكْرٍ الْفَارِسِيُّقَالَا حَدَّثَنَا اَبُوْ عُمَرِ
بْنِ مَطَرٍ حَدَّثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ عَلِيٍّ الذُّهْلِيُّ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُيَحْيَى حَدَّثَنَا اَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ
اْلأَعْمَشِ عَنْ اَبِيْ صَالِحٍ عَنْ مَالِكٍ قَالَ اَصَابَ النَّاسَ
قَحْطٌفِيْ زَمَنِ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَيَارَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ اللهَ
لِاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَقَالَ اِيْتِ عُمَرَ فَأَقْرِءْهُ مِنِّي
السَّلاَمَ وَاَخْبِرْهُمْ اِنَّهُمْ مُسْقَوْنَ وَقُلْلَهُ عَلَيْكَ
بِالْكَيْسِ الْكَيْسِ فَاَتَى الرَّجُلُ فَاَخْبَرَ عُمَرَ فَقَالَ
يَارَبِّ مَا آَلُوْا اِلاَّ مَا عَجَزْتُعَنْهُ، وَهَذَا اِسْنَادٌ
صَحِيْحٌ. (الحافظ ابن كثير، البداية والنهاية ٧/٩۲وقال في جامع المسانيد ١/۲٣٣: اسناده جيد قوي، وروى هذا الحديث ابن ابي خيثمة. انظر: الاصابة ٣/٤٨٤، والخليلي في الارشاد ١/٣١٣ وابن عبد البر في الاستيعاب ۲/٤٦٤ وصححه الحافظ ابن حجر في “ فتح الباري “ ۲/٤٩٥.
“Al-Hafizh
Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar
al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan
kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya
bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami,
dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan
Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum
Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin
al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah
untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian
orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan
beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya
“bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang
kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang
dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan
kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini
shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92.
Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya
jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah,
lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1,
hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta
dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal.
495).
Apabila hadits di atas
kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal
bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang ke makam
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan
tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan
kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu
‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak
berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata,
“Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk
tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat
bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan
wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum
salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.
==
Dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi”
karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar